Cover Novel Sang Pemimpi
Novel dengan judul Sang Pemimpi karya Andera Hirata ini sukses membuat saya takjub dan semakin bangga dengan kekayaan bahasa serta budaya di Indonesia. Pasalnya dalam novel tersebut penulis mengambil latar kehidupan di Pulau Magai, Balitong, menjelaskan sedetail-detailnya tentang budaya yang ada di sana. Mulai dari kebiasaan baik mengaji Al Qur’an sehabis shalat magrib, cara menghormati orang tua, dan hal lainnya.
Novel yang terdiri dari 28 mozaik serta jumlah halaman -kurang lebih- 247 ini merupakan novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang. Dalam cerita penulis memosisikan dirinya sebagai Ikal yang juga tokoh utama. Selain itu terdapat pula tokoh lain, yaitu Arai, Jimbron, Ayah & Ibu Ikal, Pak Balia, Pak Mustar, Pak Cik Basman, Mahader, Mak Cik, Bung Zaitun, dan lain-lain.
Ialah Ikal yang dalam cerita sebagai seorang anak yang tak kenal lelah dalam menggapai mimpi walau itu terbilang mustahil oleh orang lain. Persahabatan antara Ikal, Arai, dan Jimbron dalam novel Sang Pemimpi patut diacungi jempol. Di tengah kesulitan mereka tetap menomor satukan hubungan persahabatan daripada ego masing-masing.
Novel yang diawali dengan kisah kenakalan remaja atau cerita kehidupan remaja ini semakin membuat pembaca keheranan akan kelanjutan ceritanya. Pasalnya dalam setiap akhir cerita Andrea Hirata menuliskan kalimat yang penuh tanda tanya dan tak jarang mengundang tawa pembaca.
Baca juga: Resensi buku Kun Yusuf Mansur
Pada bagian pertengahan cerita penulis menyuguhkan dilema Jimbron yang notabenenya penggemar berat sama kuda. Meskipun bicaranya gagap, ia mampu menceritakan tentang seluk beluk kuda yang diketahuinya. Hal tersebut lantas membuat kedua temannya merasa risih tiap kali mendengar cerita Jimbron yang sudah diulangi lebih dari tiga kali. Berkat kuatnya ikatan persahabatan akhirnya mereka kembali bersatu.
Sayangnya penulis sempat menyuguhkan adegan -menurut saya- kurang pantas yang terdapat dalam sebuah film yang ditonton oleh Ikal, Arai, dan Jimbron. Saat membaca bab ini jujur saya sebagai pembaca merasa kurang setuju. Alasannya karena tokoh-tokoh utama dalam cerita umurnya masih anak-anak. Namun hal itu justru membuat cerita dalam novel Sang Pemimpi ini seolah-olah nyata.
Selain jalannya cerita yang indah, novel ini juga didukung oleh pilihan kata (diksi) yang digunakan penulis sehingga membuat pembaca betah berlama-lama membaca. Bahkan penulis juga menukil perkataan-perkataan tokoh-tokoh besar dunia. Seperti seorang filsuf yaang siang malam merenungkan seni mencinta telah menulis: love me or hate me, but spare me with your indifference, maksudnya kurang lebih: cintai aku atau sekalian benci aku, asal jangan abaikan aku (hlm: 161).
Novel diakhiri dengan perpisahan antara Ikal & Arai dengan Belitong guna melanjutkan studi -meraih mimpi- di Pulau Jawa. Bisa dibayangkan betapa beratnya perpisahan bagi mereka yang sedari kecil tak pernah jauh dari orang tua. Andrea Hirata sepertinya ingin menginspirasi pembaca lewat karyanya bahwa seseorang tidak boleh menyerah guna mewujudkan impiannya. Itulah yang saya tangkap dari novel ini. Sesuai judulnya “Sang Pemimpi”.
Meskipun sudah terbit beberapa tahun silam, saya tetap merekomendasikan novel ini untuk dibaca setiap orang dan semua kalangan. Khususnya bagi anak yang sedang menuntut ilmu agar semakin mempertebal semangat menggapai cita-cita. Apa pun itu, asal ada kemauan, pasti ada jalan. Sebagaimana yang tercantum di halaman 159: tanpa mimpi dan semangat, orang seperti kita akan mati.
0 Comments
Jangan melakukan spam, tak ada link dan bicara kotor.
Berkomentarlah dengan cerdas