[Review] 86 -Sebuah Novel, Okky Madasari

 Ebook/PDF novel 86, Okky Madasari


Hi, Guys! Apa kabar? Semoga kalian dalam keadaan baik-baik saja, ya. Kali ini aku akan memberikan link untuk mendownload novel. Novel apa itu?

Nah, sebelumnya aku akan menyajikan sedikit review atau ulasan mengenai novel tersebut. Nggak ada salahnya kan berkenalan dulu sebelum memulai membaca. Ya, setidaknya biar tahu sedikit tentang buku yang akan kamu baca.


Review novel 86

Download buku 86 -sebuah novel, Okky Madasari

Novel ini aku temukan saat sedang scroll beranda iPusnas. Di sana tertera jumlah pembacanya yang banyak. Nah, aku langsung penasaran sama bukunya yang terdiri dari dua angka 8 dan 6. Sebenarnya apa si arti angka 86?

Dikutip dari catatan kaki di buku tersebut ungkapan 86 awalnya digunakan di kepolisian, yang artinya sudah dibereskan, tahu sama tahu. Tapi kemudian digunakan sebagai tanda penyelesaian berbagai hal dengan menggunakan uang.

Tokoh utama dalam novel ini bernama Arimbi. Seorang wanita lugu, polos, serta tidak neko-neko dari Jawa Tengah yang mengadu nasib sebagai juru ketik Pengadulan di Jakarta. Dia merupakan anak semata wayang orang tuanya yang tinggal di kampung.

Sebagai seorang pegawai negeri yang bekerja memakai seragam, tidak perlu kerja di lapangan seperti orang tua serta teman-teman sekolahnya di kampung. Ayahnya Arimbi selalu mengelu-elukan prestasi anaknya tersebut kepada setiap tetangga yang dijumpainya.

Menurut adat yang berlaku di sana menjadi pegawai negeri yang selalu mendapat gaji tiap bulan dan setelah selesai bisa mendapat transfer pensiunan merupakan hal yang luar biasa. Padahal mereka tak tahu fakta yang sebenarnya.

Gaji yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sedikit mengirim uang ke kampung adalah faktor utama yang membuat Arimbi terjun ke 'dunia hitam'. Apalagi setelah mendapat sedikit 'pencerahan' dari Anisa -teman kantornya- dan Ananta teman dekatnya.

Bermula dari hadiah berupa AC (pendingin ruangan). Lalu kemudian berlanjut pada uang tambahan. Dan lama-lama Arimbi terbiasa dengan kata 86 untuk meminta imbalan lebih kepada kliennya. Meski pada mulanya terdapat rasa ragu, malu, bingung, toh praktik tersebut sudah dianggap biasa dan bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Masing-masing pihak tidak ada yang dirugikan juga. 

Hal itu dilakukannya semata-mata untuk memenuhi keinginannya. Padahal selama empat tahun pertama kerja sebagai juru ketik di pengadilan Arimbi biasa-biasa saja. Tidak minta yang aneh-aneh. Tapi setelah mengetahui bahwa semua barang-barang mewah milik Anisa seperti mobil, tas mahal, pakaian, dan lain sebagainya merupakan hasil dari praktik di luar kerjanya Arimbi mulai berpikir. Kesempatan terbuka lebar baginya untuk mendapatkan barang-barang seperti yang Anisa miliki.

Orang tuanya di kampung juga tidak mempermasalahkan tindakan anaknya itu. Banyak orang-orang 'atas' di desanya yang melanggengkan praktik 86. Bahkan ketika Arimbi pulang pun Pak Lurah menyodorkan uang senilai 50 juta rupiah agar anaknya bisa jadi pegawai seperti dirinya.

Bukan hanya itu, setiap orang yang ingin menjadi perangkat di desanya tak terlepas dari yang namanya 'uang muka'. Artinya jika ingin jadi perangkat ya harus ada uang dulu. Semua serba uang.

Sampai-sampai saat mau menikah pun antara Arimbi, Ananta, dan pegawai setempat tak terlepas dari uang. Uang di sini bukan digunakan untuk membiayai seluruh keperluan acara pernikahan. Melainkan sebagai pelicin agar penanganan berkas-berkas nikah segera selesai.


Baca juga: Baca juga: resensi buku Kiai Hologram karya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)


***


Hari itu ia mendapat tugas menemui penghubung dan pengacara terdakwa di sebuah tempat makan. Danti, seorang panitera pengadilan sekaligus atasannya, bilang ia kurang enak badan. Akhirnya Arimbi datang dan mengatkan apa yang harus dikatakan -sesuai perintah Danti.

Baru kali ini Arimbi melihat uang 2 M tepat di hadapannya. Lalu uang itu ia serahkan ke Danti. Sebagai imbalan dan yang tutup mulut ia diberi 50 juta. Dengan uang sebanyak itu ia bisa beli apa saja yang ia mau.

Setelah itu keadaan berubah drastis. Dari sinilah permasalahan di novel ini bermula. Saat Danti dan Arimbi yang awalnya berhubungan baik perlahan saling membenci satu sama lain. Berjumpa pun tak saling sapa meski berada dalam satu ruangan sempit.

Mereka dipenjara. Arimbi empat tahun dan Danti tujuh tahun. Selama dalam masa tahanan tersebut Arimbi tidak terlepas dari praktik 86. Danti yang notabene mempunyai uang bisa tinggal di tempat yang jauh lebih baik dari Arimbi. Ada AC, tempat tidur sendiri, pesuruh, mesin cuci, dan fasilitas lain.

Di sana Arimbi mengenal Tutik dan Cik Aling. Tutik yang terkenal garang dan ditakuti oleh sebagian besar penghuni sel selalu bersikap baik kepada Arimbi. Ya, Tutik dan Ananta adalah dua orang yang berperan dalam kehidupan Arimbi.

Ketika ibunya sakit ginjal dan berkali-kali harus cuci darah setiap minggunya Arimbi merasa down. Tak lama setelah berbagi cerita kepada Tutik Arimbi mendapat jalan keluar. Walaupun terasa berat dan beresiko tinggi bagi Ananta.

Perlahan Ananta terbujuk rayuan Arimbi. Ia sadar kalau uang hasil kerjanya tidak mampu mencukupi proses berobat mertuanya. Maka dengan terpaksa ia mulai beraksi.

Memang cara itulah satu-satunya jalan keluar yang bisa menyelamatkan nyawa ibunya Arimbi. Selai itu, uang hasil aksinya tersebut juga bisa digunakan untuk menebus kebebasan Arimbi.

Hari pertama usai keluar dari penjara Arimbi dan Ananta memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halaman. Biarlah mereka sendiri yang mengurusi permasalahannya. Mereka takut kalau orang tuanya tahu. Dan itu bisa memperburuk kondisi di kampung.

Tak lama setelah bebas Arimbi mengandung anak hasil pernikahannya dengan Ananta. Mulai hari itu ia bertekad untuk keluar dari jeratan lingkaran setan. Arimbi membayangkan punya rumah sendiri, memberi makan anaknya dari uang halal, serta hidup bahagia bersama keluarga kecilnya.

Akan tetapi permasalahan tidak hanya sampai di situ. Aksi yang selama ini dilakukan Ananta (yang dianggap selalu mulus) akhirnya terendus oleh kepolisian.


Kelebihan

Kelebihan dari novel ini terletak pada alurnya yang urut dan gaya penulisannya yang mudah dipahami. Sehingga pembaca akan selalu menemukan hal tak terduga dari kisah Arimbi beserta suaminya Ananta.

Novel 86 menyajikan kisah yang sesuai dengan carut marut negara ini. Di mana uang adalah segalanya yang bisa dijadikan alat paling kuat di antara alat-alat pertahanan diri lain.

Perubahan sikap yang dialami tokoh utama bisa dibilang manusiawi. Hal tersebut bisa juga didukung oleh kurangnya pengetahuan tentang agama serta jauhnya sang tokoh dari kesan religi. Ya, bagaimana pula itu nyata. Tidak semua orang bisa betah menghadapi rayuan uang. Terlebih ketika sedang dihimpit desakan ekonomi.

Membaca novel ini kita akan dibuat pusing dan gregetan akan sikap Arimbi yang mudah dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya. Padahal ia sendiri sedang dijadikan alat untuk mendatangkan uang lebih.

Saat membaca bagian dimana Arimbi merayu Ananta untuk mengedarkan narkoba saya benar-benar kecewa. Apa tidak ada jalan lain? Setidaknya biar dia dan Ananta tidak terperosok lebih dalam. Bukankah ia memimpikan kehidupan yang harmonis, aman, dan yang paling penting anaknya tidak ikut-ikutan seperti kedua orang tuanya.


Kekurangan

Sedangkan untuk kekurangannya terdapat pada akhir cerita. Soalnya aku ingin melihat lebih jauh kehidupan Arimbi beserta anaknya setelah itu. Overall aku suka buku ini. Menambah wawasan dan semakin menyadarkan pembacanya.

Satu lagi yang membuat pembaca terheran-teran adalah pada sikap dan karakter Arimbi yang tidak ada perubahan sama sekali. Dari awal hingga akhir Arimbi selalu tergiur pada cara yang tidak tepat dan melulu berkaitan dengan parktik 86.

Selain itu kehidupan seks Arimbi yang disajikan Okky Madasari sebagai penulis bisa dianggap bumbu dalam suatu karya sastra. Mengingat tahun pembuatan novel 86 yang disesuaikan dengan zamannya. Overall aku suka novel ini. Bagaimana pun seorang manusia tentu butuh kepuasan tersendiri. Baik itu berupa materi atau kepuasaan jiwa.

Saat berada dalam tahanan Arimbi tidak bisa leluasa bercengkrama dengan Ananta, suaminya. Begitu pula Tutik. Dan terjadilah apa yang seharusnya dihindari.

Kata Arimbi sendiri bahwa lelaki bisa memberikan kenikmatan yang lebih dari sekadar rasa cinta. Hal itulah yang dinantikannya selama dalam tahanan. Untungnya penulis berhasil meracik kata yang pas dalam menggambarkan kehidupan seks Arimbi. Sehingga pembaca tetap merasa nyaman saat membaca bagian-bagian tertentu.


Amanat

Kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari manapun. Salah satunya dari novel ini.

  • Nilai Religi

Nilai pertama dari segi religi yang dapat diambil dari kisah Arimbi adalah selalu ingat Tuhan. Seseorang tentu berpikir berkali-kali saat tertimpa musibah. Jika ia ingat Tuhan, mak besar kemungkinan akan menuai kemudahan. Sebaliknya, jika tidak ada nilai-nilai agama dalam dirinya, bukannya mempermudah jalan keluar tetapi malah memperparah keadaan dengan menghalalkan segala cara.

Maaf, ya, bukannya sok tahu, tapi itulah faktanya. Aku juga belum paham-paham amat soal agama. Soalnya ada bagian dari novel ini yang menceritakan Arimbi sedang berdoa kepada Tuhan. Ya, pada akhirnya kita semua akan kembali pada-Nya.

  • Nilai Moral

Lagi, nih. Bukannya sok bijak. Tapi -menurutku- kehidupan Arimbi di Jakarta yang jauh dari perhatian dan pengawasan orang tua juga turut membentuk karakternya. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan dalam hal ini. Meski jarak memisahkan mereka.


Tentang Penulis

Okky Madasari merupakan seorang wanita lulusan Universitas Gajah Mada dengan jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP. Wanita kelahiran tahun 1984 ini telah menulis beberapa buku anatara lain: Entrok (2010), Maryam (2012), Pasung Jiwa (2013), dan lain-lain.

Di tahun 2012 karyanya yang berjudul Maryam berhasil menyabet Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa. Karya-karyanya yang lain juga bisa dijumpai di blog okkymadasari.net.



Identitas Buku

Judul : 86
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 256 halaman
Tahun Terbit: 03 Maret 2011
ISBN : 9789792267693



Sinopsis

Apa yang bisa dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan?

Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti.

Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.

Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang sudah menganggap sebagai kewajaran.

Pokoknya, 86!


Download Ebook/PDF novel 86

Jika kamu ingin membaca buku atau novelnya versi digital dalam bentuk ebook (pdf) gratis & legal di aplikasi iPusnas. Silakan klik di sini


Selamat membaca & Salam Literasi

Semoga bermanfaat


NB: STOP PDF atau Ebook ilegal & buku bajakan. Mari tingkatkan literasi tanpa harus merugikan pihak mana pun.

Post a Comment

0 Comments