Esai Etika Pancasila dalam Melawan Korupsi

 Pudarnya Makna Rompi Orange untuk Koruptor

Oleh: Lathifah S


Euforia masyarakat dalam menyambut bulan Agustus yang tinggal beberapa hari lagi tak ubahnya tradisi turun temurun yang harus dilestarikan. Seperti memasang bendera merah putih, menata ruang publik serta menghiasnya sesuai tema HUT RI. Semua itu dilakukan atas dasar cinta negeri.

Selain hal tersebut, tidak ada salahnya menengok ke belakang. Melihat betapa gigih dan semangatnya para pejuang kemerdekaan yang rela mengorbankan jiwa, raga, harta, dan apapun yang bisa dipertaruhkan demi bangsa. Bila setiap warga, khususnya orang yang memegang kekuasaan di negeri tercinta ini mau meluangkan sedikit waktu (dalam satu tahun) untuk meresapi kondisi bangsa Indonesia pada masa penjajahan tentu mereka akan berpikir ulang agar tidak melakukan tindakan tercela.

Seperti yang akhir-akhir ini dipertontonkan baik di dunia maya maupun dunia nyata adalah tindak pidana korupsi. Seolah masyarakat sudah terbiasa melihat orang kalangan atas memakai rompi orange dengan raut wajah yang biasa-biasa saja. Bahkan tindak pidana korupsi sendiri bak warisan yang tiap tahunnya ada saja yang melakukan.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Tindakan tercela korupsi sudah jelas menyalahi kodrat manusia sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang dibekali akal pikiran. Seharusnya manusia mendayagunakannya dengan hal-hal positif yang bermanfaat bagi masyarakat yang dipimpinnya. Pasalnya dia (pelaku korupsi/koruptor) telah diberi mandat oleh rakyat yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya.

Berkaitan dengan itu pula pejuang negeri ini merumuskan suatu ideologi dasar bernama Pancasila. Terdiri dari lima sila yang memuat cita-cita luhur bangsa tercinta ini. Oleh karena itu sepatutnya kita sebagai warga Indonesia berkewajiban meneruskan perjuangan para pahlawan. Konteksnya sudah berbeda. Jika dulu memakai senjata berupa pedang atau tombak, sekarang senjatanya adalah diri sendiri yang dibekali akal pikiran berupa hati dan otak. Karena lawan yang dihadapi pun lebih besar.

Pada sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" kita diajak untuk mengingat Tuhan. Agama merupakan landasan hidup dalam sehari-hari. Bilamana seseorang ingat akan Tuhannya dan taat beragama tentu perilakunya juga akan mengikuti menjadi lebih baik. Sehingga tidak tergoda oleh kekayaan semu seperti uang suap atau segala sesuatu yang berkaitan dengan korupsi.

Memang ada yang bilang bahwa sifat asli manusia adalah selalu merasa tidak puas. Punya motor masih ingin beli mobil, punya mobil masih ingin beli pesawat pribadi, begitu seterusnya. Sampai rela mengorbankan kepentingan banyak orang demi kepentingan diri sendiri.

Bukan tidak mungkin seseorang akan mengurungkan niat untuk korupsi jika dia benar-benar memahami nilai yang terkandung dalam sila pertama Pancasila. Padahal baru satu sila saja sudah begitu besar pengaruhnya.

Sila kedua yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab" pun mencakup bagaimana kita hidup berdampingan dengan sesama. Kata 'adil' mengandung maksud bahwa semua manusia sama di mata hukum. Tidak memandang jabatan, gelar, dan yang utama adalah harta kekayaan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sudah adilkah sanksi terhadap koruptor di negara kita? Semoga saja sudah.

Apabila sanksi yang diberikan kepada koruptor setimpal dengan perbuatannya maka tak ayal orang akan takut korupsi. Bukan malah jadi tradisi yang sering diberitakan di televisi. Terlihat mengenakan rompi orange tetapi responnya tidak menunjukkan rasa bersalah.

Dampak yang ditimbulkan dari korupsi tentu sangat menyakitkan bagi rakyat kecil. Biaya yang seharusnya bisa mereka rasakan dan sangat membantu seketika lenyap di tangan seseorang. Seperti kasus korupsi yang terjadi di era pandemi kemarin. Di saat terjadi PHK besar-besaran banyak orang kehilangan mata pencaharian.

Sedangkan kata 'beradab' memuat unsur kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi. Karena adab lebih utama daripada ilmu. Sebagai sesama manusia dituntut untuk menjunjung tinggi harkat serta martabatnya. Bukan malah sebaliknya. Perilaku korupsi tentu menyalahi kodrat tersebut.

Lebih jauh lagi dampak dari segi adab ke masyarakat sebagai pihak korban. Oleh sebab itu, korupsi yang hanya kesenangan sesaat sangat merugikan semua pihak. Bukan terbatas pada diri sendiri dan keluarga pada khususnya, tetapi ke masyarakat pada umumnya. Jika hal ini terus berlanjut -tidak ada efek jeranya- bukan tidak mungkin adab masyarakat kepada pemimpinnya berubah.

Misalnya saja ketika ada pejabat yang terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Begitu melihat berita korupsi respon sebagian orang seperti jenuh dengan bobroknya moral pelaku korupsi yang masih ada tiap tahunnya.

Sesuai dengan bunyi sila ketiga "Persatuan indonesia". Dimana persatuan dan kesatuan merupakan pondasi utama sebuah negara demi menciptakan kehidupan bermasyarakat yang damai, aman, sejahtera, serta sentosa. Adanya kasus korupsi bisa menyebabkan perpecahan di lapisan masyarakat.

Sebagian ada yang kontra dan sebagian lain ada yang pro dengan segala macam alasannya. Terlebih di era digital seperti saat ini. Sebut saja saat kemarin publik ramai membicarakan sang koruptor viral.

Banyak pihak sana sini di media sosial facebook, twitter, instagram, dan sejenisnya saling adu argumen. Sehingga dampak yang ditimbulkan pun semakin parah.

Ditambah mudahnya kepercayaan masyarakat terhadap berita bohong atau hoaks. Sehingga adu argumen semakin tak terhindarkan. Jika sudah begitu rasa persatuan dan kesatuan bukan lagi sesuatu yang penting dimata mereka yang bersikukuh pada pendapatnya.

Sekali lagi, lantas bagaimana nasib masyarakat lapisan bawah yang dalam kesehariannya terus berjuang demi mendapatkan sesuap nasi? Inilah pihak yang seharusnya dirangkul. Akses bicara mereka yang sangat terbatas mungkin salah satu penyebab koruptor tidak jera atas perbuatannya dan melupakan suara hati kecilnya.

Kemudian sila keempat yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Mengandung nilai demokrasi dimana rakyat mewakilkan suaranya kepada pemimpin pilihannya. Seorang pemimpin harus menyadari betul betapa besar amanah serta tanggung jawabnya atas kepentingan banyak orang. Bukan malah menggunakan jabatan sesuka hati atau menghalalkan segala cara atas nama jabatan.

Negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang besar. Yang mana terjadi pergantian pemimpin setiap selesai masa jabatan pemimpin sebelumnya. Dari situ lahirlah istilah pesta demokrasi. Saat momen-momen tersebut kandidat pemimpin saling unjuk gigi. Mengampanyekan visi dan misi masing-masing dengan segala embel-embelnya. Tentu sangat disayangkan jika ada dari mereka yang menjilat ludahnya sendiri. Bermacam-macam janji urung dipenuhi tetapi malah berbuat korupsi. Betapa lucunya pejabat di negeri ini.

Terakhir adalah sila kelima Pancasila yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Kembali pada soal keadilan tidak ada habisnya jadi topik pembicaraan di negeri ini. Pasalnya banyak spekulasi yang menyatakan bahwa pisau tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Mengingat hukuman yang diberikan kepada kalangan atas dan kalangan menengah ke bawah yang berbeda.

Kelima sila yang telah disebutkan di atas bukan sekedar slogan atau teks yang harus dihafalkan. Tidak sampai di situ. Melainkan sangat berguna/bermanfaat jika diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perilaku korupsi yang merajalela kian hari kian mengikis makna serta eksistensi kelima sila yang termuat dalam Pancasila. Pancasila tidak terbatas pada lima butir saja yang dibaca ketika upacara atau saat mencalonkan diri sebagai pejabat. Banyak nilai yang terkandung di dalamnya.

Sudah sepatutnya perubahan dimulai dari hal-hal kecil dalam melawan korupsi. Berlandaskan Pancasila, tidak peduli apa pun suku, ras, bahasa, dan agama. Semua berkewajiban untuk ikut andil memberantas korupsi.


NB:

Lomba esai etika pancasila lapasilaum

Esai ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis esai "Etika Pancasila dalam Melawan Korupsi" yang diselenggarakan oleh LapasilaUM di bulan Agustus 2022.


Post a Comment

0 Comments