Resensi Buku
Judul Buku : Bulan
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-3294-9
Cetakan : kesembilan: Agustus 2016
Tebal : 400 hlm; 20 cm
Petualangan Mencari Bunga Matahari Pertama Mekar
Ali, si genius yang enggan menampakkan kemampuan berpikirnya saat ulangan lagi-lagi harus menerima sindiran halus dari Pak Gun, guru biologi di kelasnya. Dia mendapat nilai ulangan paling rendah. Alhasil seluruh kelas menertawakannya.
Tetapi ketika pelajaran berlanjut justru hanya Ali yang mampu menjawab pertanyaan dengan detail. Hal itu membuat Pak Gun dan para siswa melongo tidak percaya. Bagaimana mungkin Ali yang selama ini bersikap tidak peduli pada pelajaran bisa menjawabnya?
Pembelajaran terus berlanjut sampai Pak Gun dan Ali berdebat. Ali bilang kalau Seli bisa mengeluarkan petir dari tangannya. Banyak yang menganggap Ali hanya bercanda. Tetapi Ali tetap ingin membuktikannya.
Ali, Seli, & Raib dipanggil BK. Di ruang BK mereka masih berselisih. Padahal Miss Selena sudah melarang mereka membicarakan rahasia besar mereka, termasuk pernyataan Ali tadi.
Setelah lama ditunggu akhirnya terdengar suara langkah kaki mendekat. Bukan guru BK, meskipun di ruang BK, melainkan Miss Keriting alias Miss Selena yang enam pergi bulan lalu. Ia membawa dua berita baik dan buruk.
Kabar baiknya adalah Tamus tidak bisa kabur dari petak penjara Bayangan. Sedangkan kabar buruknya Tamus dan pengikut setianya serta si Tanpa Mahkota ingin mengusai Klan Bulan.
Menanggapi hal itu Miss Selena, Av, dan Tog berencana akan bersekutu dengan Klan Matahari, tanah leluhur Seli. Mereka akan ke Klan Matahari dua minggu lagi. Raib, Seli, dan Ali pun tak ketinggalan.
Ali selalu antusias dengan hal baru. Termasuk perjalanan ke Klan Matahari. Berbeda dengan Raib yang terlihat ragu. Ia berbohong kepada kedua orang tuanya. Saat izin Raib bilang akan ikut keluarga Seli berlibur ke pantai.
Walaupun sempat dilarang oleh mamanya, Raib dibantu mamanya Seli untuk lebih meyakinkan mamanya Raib.
***
Tepat pukul delapan pagi Miss Selena ditemani Av dan Ily datang di rumah Seli. Tanpa menunggu waktu lama, mereka segera pergi lewat buku PR matematika milik Raib.
Selang satu menit kemudian mereka telah sampai di Klan Matahari melalui portal. Lebih tepatnya mereka tiba seperti di Stadion Matahari. Suara bergemuruh memenuhi seluruh sisi stadion. Teknologi di sana jauh lebih canggih daripada teknologi di Klan Bumi. Benda-benda beterbangan, seperti penari yang menari di atas nampan terbang, sampai makanan dan minuman ringan sekalipun.
Saba-tara-taba sebagai pemandu festival menyampaikan bahwa festival puncak segera dibuka. Satu dua kontingen festival muncul. Hingga kontingen kesembilan. Masing-masing dari mereka menaiki hewan khas Klan Matahari.
"Tidak hanya sembilan wahai rakyat Klan Matahari... tapi sepuluh!" Saba-tara-taba mengumumkan.
Kontingen yang dimaksud ialah kontingen tamu dari Klan Bulan. Raib, Seli, Ali, dan Ily diminta untuk ikut memeriahkan festival. Av telah menyatakan keberatannya, namun keputusan terlanjur diumumkan. Mau tidak mau dan suka tidak suka Raib, Seli, Ali, dan Ily harus ikut menjadi kontingen di festival mencari bunga matahari pertama mekar. Karena itulah satu-satunya cara agar diplomasi keduanya berjalan lancar.
Persiapan yang serba mendadak mereka lakukan. Raib dan Seli memilih tidak memakai senjata yang disediakan. Sejak kedatangannya mereka berdua selalu memakai Sarung Tangan Bulan dan Sarung Tangan Matahari. Sedangkan Ali dan Ily memilih alat pemukul kasti serta tombak.
Pakaian mereka serba hitam. Kontras dengan pakaian penduduk Klan Matahari yang serba berwarna terang. Pakaian itu didesain ayahnya Ily khusus untuk mereka.
Festival pun dimulai. Seluruh kontingen menunggangi hewan pilihannya masing-masing.
Baru memulai perjalanan di dalam hutan lebat Raib, Seli, Ali, & Ily disambut kebingungan. Suasana malam yang gelap dan tak tahu arah. Adanya Ily banyak membantu dalam hal penunjuk arah dan waktu, Raib yang bisa berbicara pada alam, Seli pemilik Sarung Tangan Matahari sekaligus keturunan Klan Matahari, dan Ali si genius yang pinya ide-ide brilian. Mereka saling melengkapi.
Baca juga: Resensi novel Negeri Di Ujung Tanduk, Tere Liye
Malam harinya mereka memutuskan mencari tempat untuk beristirahat. Gerimis mulai deras. Di tengah padang perdu berduri terlihat sebuah rumah. Bagaimana mungkin ada rumah di sana?
Raib mengecek rumah itu dengan kemampuan menghilangnya. Ternyata rumah itu dihuni seorang wanita tua bernama Hana-tara-hata. Hana sangat ramah kepada mereka.
Keesokan harinya setelah sarapan di rumah Hana mereka kembali melanjutkan perjalanan.
"Dengarkanlah alam liar bicara kepadamu." Hana berpesan.
Mencari bunga matahari pertama mekar tak semudah yang mereka pikirkan. Berkali-kali mereka menemui masalah. Mulai dari diserang kawanan gorila. Bahkan salah satu cerpelai milik kontingen lain tewas mengenaskan. Dilanjut dengan serangan burung pemakan daging. Hingga membuat Ali dan Seli ketakutan -pingsan.
Pergi ke utara, temukan seruling tak berkesudahan
Itulah petunjuk pertama yang harus dipecahkan. Petunjuk itu ada pada air terjun besar setingggi seratus meter lebih.
Berdasarkan petujuk mereka pergi ke timur. Tiba di danau dan mencari perahu untuk menyeberang. Dikarenakan harimau salju yang mereka naiki tidak bisa berenang. Usut punya usut di dermaga kayu ada seorang kakek tua bernama Nena-tara-neta V. Ia tak mau membawa Raib, Seli, Ali, & Ily secara percuma. Lama bernegosiasi akhirnya Nena mengajukan syarat berupa main tebak-tebakan.
Dari tiga pertanyaan kakek Nena tadi, dua berhasil dijawab benar oleh Ali dan sisanya dijawab Raib. Mereka berhasil melewati danau. Oleh Nena mereka diajak ke rumah anaknya, Mena-tara-nata II. Dia seorang pemburu dari Timur.
Melihat ketulusan hati Raib dan Seli, Mena senang hati mengantar mereka menuju Danau Teluk Jauh. Danau yang dihuni monster gurita menyeramkan, namun di dalamnya terdapat ikan-ikan bercahaya. Itulah petunjuk berikutnya.
Tidak berhenti sampai di situ, para kontingen harus memecahkan petunjuk demi petunjuk berikutnya, disertai bermacam rintangan.
Persis pada hari kesembilan bunga matahari pertama akan mekar. Tidak ada yang tahu di mana letaknya. Setiap tahunnya pasti berubah-ubah.
Ternyata pada festival kali ini bunga matahari pertama mekar ada di peternakan Hana. Meski sempat salah arah, mengira bunga matahari pertama mekar akan ada di kota Ilios, Raib, Seli, Ali, dan Ily akhirnya sampai juga. Sayangnya kontingen penunggang salamander telah lebih dulu menemukannya.
Mereka bersiap memetiknya. Akan tetapi Fala-tara-tana IV, Ketua Konsil, mencegahnya. Kontingen penunggang salamander telah melanggar aturan penting festival, mereka curang.
"Nah, wahai rakyat Klan Bulan yang dibesarkan di Bumi, aku memberikan kehormatan besar agar kah memetik bunga matahari itu." Fala-tara-tana IV menunjuk Raib.
Di balik perintahnya itu Fala-tara-tana IV menyimpan tujuan khusus. Bukan untuk rakyat, melainkan untuk membuka pintu yang dibukanya empat ratus tahun lalu. Dengan mengandalkan kekuatannya dengan mudah Fala-tara-tana IV mengalahkan Miss Selena, Ali, Ily, kontingen penunggang salamander, dan beberapa konsil lainnya. Raib tidak bisa melakukan apa-apa. Tubuhnya berada dalam kekuasaan Fala-tara-tana IV.
Pertarungan tersebut menewaskan Ily. Sementara Fala-tara-tana IV dibawa masuk ke portal oleh lebah-lebah milik Hana.
Serial kedua dari serial "Bumi" ini menyuguhkan cerita yang mengaduk perasaan pembaca. Setiap tokoh yang digambarkan Tere Liye mempunyai perannya masing-masing. Terutama Raib, Seli, Ali, dan Ily. Karakter mereka sama kuat.
Novel ini sarat nilai-nilai luhur. Di mana saat kita menginginkan sesuatu, maka kita harus selalu memerjuangkannya dengan gigih. Selain itu, dalam kondisi apa pun, nilai kemanusiaan tetap menjadi yang pertama. Bersahabat dengan hewan sekalipun.
Canggihnya teknologi di Klan Matahari dijelaskan penulis secara detail. Sehingga membuat pembaca paham, meskipun dirasa di luar nalar. Ditambah lagi adanya kata yang diulang-ulang dalam satu bab.
Walaupun demikian, novel Bulan cocok dibaca berulang-ulang oleh semua kalangan.
"Sungguh ada banyak hal di dunia ini yang bisa jadi kita susah payah menggapainya, memaksa ingin memilikinya, ternyata kuncinya dekat sekali: cukup dilepaskan, maka dia datang sendiri." (Hlm: 209)
Peresensi: Lathifah S (@lathifah_saadah).
0 Comments
Jangan melakukan spam, tak ada link dan bicara kotor.
Berkomentarlah dengan cerdas