Resensi Buku
Judul Buku : Negeri Di Ujung Tanduk
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Jakarta, April 2013
Tebal : 360 halaman; 20cm
ISBN : 978 - 979 - 22 - 9429 - 3
Ialah Thomas, pemuda genius yang berani melawan para bedebah bangsa. Tingkat keilmuannya sebagai konsultan politik tak perlu diragukan lagi. Dari sekian banyak kliennya selalu berhasil memenangkan pemilu.
Berpendidikan formal yang cukup baik dan pernah tinggal di asrama selama tujuh tahun. Memiliki cita-cita mulia. Namun karena cita-citanya itulah Thomas harus berhadapan dengan mafia hukum yang mengingatkannya pada masa kelam sepanjang hidupnya. Masa ketika harus melihat kedua orang tuanya menjemput ajal dalam kobaran api akibat ulah penghianat keluarga.
Rintangan demi rintangan mulai bermunculan ketika Thomas bersekutu dengan kliennya, JD, kandidat presiden tahun depan. Bermula saat ia bersama Kadek, Opa, dan Maryam (gadis wartawan review mingguan terkemuka di kawasan Asia Pasifik) berada di atas sebuah kapal pesiar baru miliknya. Lebih tepatnya hadiah dari Opa.
Emtah mimpi buruk apa yang menimpanya semalam. Tiba-tiba satuan khusus antiteror Hong Kong yang dipimpin deteltif Liu menyergap mereka dalam keadaan santai setelah menikmati masakan kepiting saus tiram dari Kadek. Mereka dituduh telah menyelundupkan seratus kilogram bubuk heroin serta sekarung senapan, granat, dan peledak.
Dari ketinggian lantai 15 mereka ditahan dengan penjagaan super ketat. Mereka memeras otak. Memikirkan cara untuk keluar. Loncat? Tidak mungkin. Melawan? Jumlah mereka lebih sedikit.
Thomas yang dikaruniai otak briliam selalu memiliki jalan keluar atas setiap masalah yang menimpa dirinya. Melalui satu panggilan telepon saja dia berhasil kabur dari tempat itu. Dibantu oleh Lee, orang yang ia kalahkan dalam pertarungan semalam di Makau.
Dalam perjalanan menuju Jakarta, di atas pesawat jet pribadi Thomas menerima kabar buruk dari seseorang yang ia panggil Bapak Presiden, JD, kliennya lewat panggilan telepon.
Benar saja. Ketika sampai di bandara, di depan banyak wartawan ia melihat siaran langsung breaking news perihal kasus penangkapan kliennya, JD, atas tuduhan korupsi megaproyek tunnel raksasa selama menjadi gubernur ibu kota (hal 134).
Untuk menyelamatkan Opa beserta Kadek, Thomas mengistirahatkan mereka sebentar di sekolah asramanya dulu. Jauh dari hiruk pikuk kota. Jauh dari jalanan macet. Dan tentunya aman. Satuan antiteror Hong Kong akan sulit menemukan keberadaan mereka. Sementara ia dan Maryam tetap di Jakarta.
Malamnya saat berada di perusahaan komsultasi miliknya ia kembali menemui masalah. Rombongan polisi menyerbunya dan lagi-lagi Thomas berhasil keluar bersama Maryam menggunakan mobil jeep dobel gardan.
Kejar-kejaran di jalanan pun tak dapat dielakkan. Hingga akhirnya polisi bisa menangkap dan mengurung mereka dalam sel tahanan. Thomas berusaha menyuap dua petugas di sana. Tetapi gagal. Yang ada malah diinterogasi oleh komandan kompleks bernama Rudi yang ternyata temannya di klub petarung setahun lalu.
Berkat bantuan Rudi akhirnya Thomas dan Maryam bisa tiba pukul 10.30 di Denpasar mengikuti konvensi partai. Thomas dengan gagah berani berbicara di depan hadirin yag datang. Menyuarakan suaranya, sekiranya klien politiknya, JD, tidak didiskualifikasi.
Setelah acara berakhir, ia memutuskan kembali ke perusahaan konsultannya di Jakarta dengan menumpang pesawat Hercules milik angkatan udara untuk menemui Maggie dan Kris. Mereka berdua adalah karyawan andalannya. Maggie yang cekatan dan Kris yang pandai mengolah data.
Thomas memerlukan pola yang mengubungkan nama-nama anggota mafia hukum dari Kris dan beberapa stafnya. Selain itu, ia juga membutuhkan informasi dari pamannya, Om Liem, yang mendekam di penjara akibat ulahnya bergabung dengan mafia hukum. Cara tersebut ia lakukan agar bisa menghancurkan mereka sampai ke akar-akarnya.
Setelah KPK menangkap lima anggota DPR atas informasi darinya. Om Liem yang dalam perjalanan bersama pihak KPK guna diamankan, dibawa kabur oleh mafia hukum. Padahal dialah satu-satunya saksi kunci yang membawa seluruh barang bukti.
Sesuai dugaannya, ia ditelepon salah satu anggota mafia hukum, jenderal bintang tiga, kepala badan penyidik kepolisian sekaligus orang terkuat kedua di kepolisian. Dalam percakapan tersebut Thomas hanya diberi waktu enam jam untuk menyelamatkan Om Liem yang dibawa kabur ke Pelabuhan Kontainer Kwi Tsing Hong Kong.
Sepanjang perjalan ke sana Thomas merasa ada yang ganjil. Seolah semuanya telah direkayasa mereka.
Setibanya di bandara dan menaiki taksi ia sudah ditunggu oleh banyak orang bersenjata di atas kapal tug yang akan membawanya ke kapal kontainer bernama New Panamax. Thomas masih belum mengenali wajah orang-orang bersenjata di sekitarnya yang tertutup topeng.
Ia dibawa menuju salah satu ruangan. Begitu pula Om Liem yang sudah lemas tak berdaya. Di dalam ruangan itu Thomas tidak bisa berkutik sedikit pun. Maju selangkah saja pekuru akan menyasar kepalanya.
Orang yang dicarinya selama dua puluh tahun sekarang ada di hadapannya. Tuan Shinpei, pemimpin mafia hukum yang dulunya teman bisnis ayah dan pamannya. Tuan Shinpei juga yang merencanakan pembakaran rumah beserta kedua orang tua Thomas. Sungguh seorang penghianat sadis.
Tuan Shinpei memaksa Om Liem agar memberitahu keberadaan barang bukti kejahatannya. Tetapi Om Liem kini berubah. Ia tidak mau mengatakan keberadaannya. Sehingga paha kanannya harus ditembak oleh jenderal bintang tiga.
Sampai ke pertanyaan berikutnya Om Liem tetap tidak mau berbicara. Maka Tuan Shinpei memutuskan untuk menembak Thomas juga. Sebelum peluru menyasar ke paha kiri Thomas, peluru lebih dulu menyasarnya, jenderal bintang tiga yang ditugaskan menembak. Siapa yang berani melakukan demikian? Rudi.
Rudi bukanlah polisi seperti yang dipikirkan Thomas. Ia masih waras. Bahkan ia sering melawan perintah atasannya. Baku tembak antar pasukan akhirnya terjadi. Rudi, Detektif Liu, dan pasukannya berada di pihak Thomas.
Saat peluru hampir habis muncullah bantuan dari dua buah helikopter pemburu milik kepolisian Hong Kong dengan dua senapan mesin alian mitraliur. Di dalamnya terdapat Lee si Monster.
Sedetik berlalu. Mafia hukum Tuan Shinpei tumbang. Pertempuran selesai.
Novel karya Tere Liye ini menyajikan peristiwa apik yang menaik turunkan perasaan pembaca. Latar waktu yang singkat, namun dikemas dengan bahasa khas Tere Liye. Semakin membuat pembaca takjup karena jumlah halamannya mencapai 360 halaman.
Baca juga: Resensi novel Hujan, Tere Liye
Peresensi: @lathifah_saadah (Lathifah S).
2 Comments
Asyik juga ya novel-novel Tere Liye. Review novel Dee, Aroma Karsa dong, mba. :-D
ReplyDeleteInsyaAllah kalau sudah baca bukunya 😀
DeleteJangan melakukan spam, tak ada link dan bicara kotor.
Berkomentarlah dengan cerdas