Contoh Gaya Penulisan Cerpen yang Diterima Di Koran

 
                Nestapa Desa Kami

   Sore itu suara gemuruh hujan menghadiri desa kami. Kilatan petir saling berkejaran kesana kemari menyambar pohon tua dekat rumahnya kakek tua yang hidup sebatang kara. Suasana kian mencekam mendengar ada yang berteriak bahwa ada warga tewas tertimpa pohon tua. Nyali kami yang saat itu sedang asyik mengobrol pun menciut. Tak berani melangkahkan kaki. Tubuh kami gemetar, berpegangan tangan satu sama lain. Hal yang tidak pernah terbayangkan semasa hidupku. Desa yang awalnya asri kini marah semakin menjadi-jadi. Hujan turun dengan derasnya ditambah angin ribut tak karuan. Yang ada dipikiranku saat itu adalah kondisi ayahku yang sedang bekerja sebagai kuli bangunan. Ayah adalah satu-satunya yang aku miliki setelah ibuku meninggal dunia saat proses persalinanku.

   Tanpa sadar aku lari terpontang-panting menuju tempat kerja ayahku ingin melihat keadaanya. Dijalanan aku melihat banyak pohon-pohon tumbang, mobil ringsek tak karuan terkena pohon tumbang. Melihat raut muka cemas orang-orang, semakin kencang aku berlari. Sampai diperempatan jalan aku mendapati anak kecil dibahu jalan. Langkah kakiku terhenti seketika. Aku menghampirinya karena hati kecilku berkata, "Dia butuh bantuanmu." Kutepuk pundak kirinya.
"Kamu kenapa, Dek?"
"Ibu... ibu... ibu"
"Ada apa dengan ibumu?"
"Ibuku..."
Dia tak melanjutkan ucapannya. Hal tersebut membuatku semakin ketakutan. Tiba-tiba datang dua orang pemuda. Mereka bilang jikalau ibunya telah terseret derasnya sungai. Belum sempat aku menanyakan nama si anak, dia langsung menangis meronta-ronta ingin pergi ke sungai mencari ibunya. Kami tidak sanggup mencegahnya. Kami mengikuti langkahnya menuju sungai yang ketika itu sedang banjir bandang. Sepanjang perjalanan aku menanyakan nama dua pemuda itu. Namanya adalah Diki dan Febri, mereka anak desa sebelah yang berprofesi sebagai bagian dari Tim SAR.

   Sesampainya disungai mataku menatap ke seluruh penjuru, mencari jasad ibunya. Keadaan semakin mencengangkan karena salah satu pemuda tadi terpeleset, yaitu Febri. Spontan Diki menolongnya, aku pun ikut membantu dengan mengambil akar pohon buat pegangan agar tidak ikut terpeleset. Sekuat tenaga aku memegang akar pohon, membawanya menuju ke area yang lebih aman. Kami merangkak kelelahan. Sedangkan si adek terus saja berteriak menyebut kata, "Ibu...Ibu..Ibuuu.." mencari jasad ibunya. Sedangkan kondisi tanah semakin tergerus air dikhawatirkan terjadi longsor. Kami memutuskan untuk menghentikan pencarian. Takut hal yang tak diinginkan terjadi.

   Aku mengikuti langkah mereka menuju posko penginapan. Memastikan si adek baik-baik saja fisik maupun psikisnya. Aku menemui anggota Tim SAR yang lain. Berbincang-bincang mengenai bencana yang menimpa desa. "Baru kali ini desa yang dulunya damai-damai saja, sekarang porak poranda dalam waktu sekejap" ujar salah satu anggota Tim SAR. Topik yang dibahas pada perbincangan itu sangat penting. Hingga tak sadar aku lupa akan tujuan awal, menemui ayah ditempat kerjanya. Untuk mempersingkat waktu. Aku meninggalakan mereka yang sedang serius berbincang tentang nasib desa kedepannya. Demikian pula dengan Toni, anak kecil yang mencari ibunya. Dia sudah membaik, pikirannya mulai tenang. Tim SAR melakukan pencarian menyusuri sungai tempat sang ibu terseret derasnya arus sungai.
"Kamu untuk sementara tinggal disini ya" pintaku kepada Toni
"Iya, Kak"

   Setelah itu, aku langsung lari menuju tempat kerja ayah yang rutenya lumayan jauh. Diki mengetahui bahwa aku pergi meninggalkan posko. Ia menyusul menggunakan sepeda motor milik Febri. Berniat ingin memboncengku. Di jalan, Diki akhirnya bertemu denganku. Tanpa basa basi ia menawarkan bantuan. Dengan senang hati, aku pun menerima bantuan Diki. Hujan deras mulai pamit meninggalkan desa kami. Kamu berdua naik motor dibawah gerimis nan rintik-rintik.
"Kamu mau kemana?"
"Mau ke tempat kerja ayahku"
"Ok. Akan ku antarkan kau ke tempat kerja camer"
"Hm... jangan becanda"

   Sebenarnya aku tahu maksud Diki berucap seperti itu. Dia ingin membuatku rada rileks. Tapi aku terlanjur cemas. Ditengah perjalanan Diki memberhentikan laju motornya. Aku diam keheranan. Usut punya usut ternyata mesinnya rusak tergenang air. Padahal hampir saja sampai ditujuan. Keadaan ini membuatku semakin cemas. Ditambah lagi hari yang mulai gelap. Sang surya telah bersembunyi. Tanpa berpikir panjang aku pun melanjutkan lariku.


   Aku mengira Diki akan memperbaiki motornya, secara dia jebolan dari perguruan teknik mesin. Jauh dari perkiraanku. Diki meninggalkan motornya di pinggir jalan. Ia lebih memilih lari menemaniku menemui ayah. Tak butuh waktu lama untuk sampai ditempat kerja ayah. Disana yang ada hanyalah ceceran puing-puing bangunan. Aku berteriak memanggil ayah. Mencari tahu apakah ada kehidupan atau tidak. Kami tidak sadar jika hari mulai larut malam. Awalnya aku ingin tetap disitu mencari ayah, tapi Diki terus memaksaku untuk kembali ke posko.
"Pikirkan kondisi badanmu, berdoalah, dan percayakan pada Tim SAR"
"Iya" aku menganggukkan kepala sebagai tanda mengikuti ajakan Diki.
"Mari kita ke posko penginapan"
Diki mencari mobil angkutan untuk kembali. Sembari menunggu mobil angkutan, aku mencari ayah.

   Akhirnya datang juga mobil angkutan dari Tim SAR. Kami naik bersama korban-korban lainnya. Hatiku hancur berkeping-keping karena tidak menemukan ayah. Aku menangis, hingga tak sadarkan diri. Kondisi badanku saat itu juga sedang kurang vit semenjak pagi.

   Setelah mataku terbuka walau masih kurang jelas, ternyata aku telah sampai diposko penginapan. Dihadapanku ada seorang lelaki. Aku memejamkan mata sejenak, menenangkan perasaan. Dan, aku pun membuka mataku kembali. Alangkah kagetnya. Seorang lelaki yang ada dihadapanku tak lain adalah ayah. Langsung kupeluk erat ayah. Kami berkumpul kembali, meskipun di posko penginapan.


Karya : Lathifatus Sa'adah
Alamat : Ds. Pelemgede Kec. Pucakwangi Kab. Pati Jawa Tengah
Status : Siswi di MA. Matholi'ul Huda Pucakwangi
WA : 085218256375

Post a Comment

0 Comments