Catatan Rantau: Pentingnya Beradaptasi dengan Banyak Orang Baru

Catatan Anak Rantau #1

Pengalaman pertama merantau bekerja di pabrik

Galeri Rindu (Renungan Hidup Anak Rantau)

"Di sini kita akan bertemu banyak orang dengan pemikiran, background, & karakter yang berbeda-beda."

Kurang lebih itulah kalimat yang sering aku ucapkan ketika 'jenuh' dengan sikap seseorang yang baru aku kenal. Dan bukan hanya itu saja. Kalimat tersebut bak afirmasi positif ke diri sendiri biar lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.

Setelah hampir satu bulan merantau (bekerja di luar daerah), aku menemukan banyak hal baru. Lingkungan dan suasanya yang berbeda serta belum pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Tapi tak apalah. Aku tipe orang yang menyukai hal atau tantangan baru. Selama itu bermanfaat dan memberi dampak positif kepada kita kenapa nggak? Toh, tidak ada salahnya kita mencoba.

Aku termasuk orang yang berprinsip untuk keluar dari zona nyaman. Karena kita akan sulit berkembang jika stagnan di satu titik saja. Sedangkan dalam hidup ini ada banyak titik yang bisa kita coba. Katanya hidup hanya sekali, maka dati itu aku berusaha untuk mencoba berbagai hal dan menggunakan sisa waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.

Menggunakan kesempatan di masa muda dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Ada satu kaidah ushul fiqih populer yang berkaitan dengan tema tersebut --dan yang aku jadikan prinsip. Berikut bunyinya:

المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَح

Artinya:
Mempertahankan hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.

Benang merah yang bisa kita terapkan di sini adalah melakukan filterisasi terhadap hal-hal baru yang kita temui. Termasuk di antaranya adalah sikap dalam dunia kerja. Bukan hanya terbatas di tempat kerja yang aku jalani saat ini. Melainkan meliputi seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Bagaimana kita always menjadi diri sendiri, tetapi tidak tertutup akan hal baru. So far, aku mengamati sikap dan karakter orang-orang di sekitarku. Contohnya hal sepele, seperti bagaimana sikap mereka terhadap orang yang lebih muda (junior) dan terhadap orang yang lebih dewasa (senior) di tempat kerja. Bahkan aku sendiri pun pernah mengalaminya.

Suatu ketika aku mendapat perlakuan kurang mengenakkan berupa wajah ketus dan sikap ingin dihormati dari seniorku (lebih tepatnya sikap berkuasanya). Mungkin hal tersebut tampak biasa saja bagi sebagian orang. But, not for me. Aku terbiasa dengan sikap ramah dari orang di sekelilingku.

Jujurly, awalnya aku sakit hati. Dalam hati bilang:

"Apaan sih, tadi bicara sama temannya bisa hahahihi. Kenapa sama anak baru sikapnya berubah gitu…."

Sakit hati itu ada dan semua orang bisa merasakannya. Tetapi tidak semua orang sama responnya. Oleh karena itu, aku kembali lagi pada kalimat pertama di atas. Ya, mau bagaimana lagi. Kita harus latihan dewasa. Tidak semua hal dimasukkan ke hati. Terkadang kita memang perlu mengedepankan logika.

Aku berpikir mungkin itu cara mereka melatih mental kita sebagai pekerja baru atau junior agar ke depannya tidak baperan. Karena kita di sini bekerja. Berbeda 180 derajat saat di bangku sekolah dulu. Dari segi umur pun semakin bertambah yang tandanya menuntut diri sendiri untuk lebih dewasa. Bukan hanya umur atau fisik saja, melainkan juga pola pikir.

Aku selalu menanamkan dalam diri agar tidak menuntut orang lain seperti yang aku inginkan. Karena itu sulit. Bahkan nyaris mustahil. Yang bisa aku lakukan adalah mengatur, memperbaiki, serta menuntun diri sendiri agar lebih berpikiran dewasa. Itu penting banget bagiku.

Satu hal lagi yang perlu ditanamkan dalam hati ketika awal bekerja adalah sikap profesional. Misalnya ketika bekerja, usahakan untuk mencurahkan tenaga serta pikiran pada pekerjaan. Walaupun tidak bisa dipungkiri bagi orang yang baru pertama kali merantau tentu emosinya masih labil. Itu yang aku alami sendiri.
Misalnya begini --bagi diriku sendiri-- yang sering kali teringat orang tua di rumah serta masa-masa sebelum memutuskan untuk bekerja (merantau). Aku sering menuntut diriku untuk memperjuangkan keputusanku. Tidak boleh setengah-setengah. Sedikit flashback, dulu aku sudah mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi. Namun apa daya, hadirnya someone yang membawa problem cukup besar bagi keluargaku membuatku harus rela. Di sini aku tidak ingin menyalahkan siapa pun, it's useless. Toh yang bertanggung jawab terhadap kebahagiaanku ya diriku sendiri.

Nah, hubungannya apa sih sama kondisi psikis anak rantau tadi? Begini, yang namanya anak baru lulus sekolah memutuskan untuk merantau pasti berharap akan menemukan kehidupan yang lebih baik lagi. Lebih bahagia dan bisa membahagiakan kedua orang tua. Jika di tempatnya yang baru dia mendapat perlakuan kurang enak, pasti perasaannya makin sedih.

Kodisi luarnya memang baik-baik saja. Tetapi kita tidak tahu hal apa yang memenuhi pikirannya. Kita juga tidak tahu bagaimana perjuangannya hingga sampai di titik ini.

Pengalaman buruk yang aku alami selanjutnya adalah ketika disuruh mengulang kerjaan berkali-kali sama senior. Sebenarnya kalau ekspresinya saat menyuruh itu biasa-biasa saja tentu aku tidak keberatan. Tapi ekspresi dan cara menyuruhnya yang seakan mempermainkan aku itu, loh. Ya, gimana, ya. Kan aku sedikit bisa membedakan mana ekspresi benar-benar melatih dan mana ekspresi yang… ya gitu lah. Saat pulang di jalan pikiranku campur aduk. Muncul pikiran-pikiran jahat yang semakin membuat sedih. Kebiasaan overthinking & insecureku menjadi-jadi. Kuahan air mata. Sampainya di kamar sudah tak terbendung lagi. Aku menangis. Astaga, drama banget aku, ya.

Satu lagi yang aku ingat. Ketika aku sedang jongkok mencari serpihan benda kecil yang aku patahkan. Kondisi sudah pusing karena tidak kunjung ketemu setelah hampir dua setengah jam. Ditambah lagi lagu yang diputar saat itu lagu tentang ayah. Asli rasanya nggak enak banget. Pengin nangis? Tentu. Tapi aku selalu melarang diriku untuk tidak menampakkan wajah sedih di hadapan umum. Sebaliknya, berusaha tetap ceria dan menampakkan wajah teduh (hoax ini :v).

Kebetulan saat itu masuk jam istirahat. Meski pikiran semrawut, tapi kalau bersama teman-teman aku bisa kembali ceria. Kembali lagi: harus profesional.

Pun ketika di rumah atau kos. Mau seenggak suka, sedih, kesal, atau apa pun itu terhadap seseorang kita harus bisa membedakan waktu kerja dan waktu di luar kerja. Intinya tuh di tempat kerja ya di tempat kerja. Kalau di rumah atau kos lain lagi ceritanya.

Kasihan kan sama diri sendiri kalau disuruh mikir hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu baik jika dipikirkan. Oleh karena itu, aku sampai detik ini masih berlatih untuk mendewasakan diri. Ingat tujuan awal aku ke sini buat apa. Pokoknya aku harus terus berproses. Tidak bpleh berhenti di tengah jalab. Keep spirit and never give up.

Sama satu lagi. Aku berusaha untuk selalu introspeksi diri. Mungkin saja ada sikap atau perilakuku yang menyinggung perasaan mereka. Diajari tidak kunjung paham, jadi mereka mungkin agak kesal. Atau bisa jadi dari dalam diriku sendiri yang expect lebih ke mereka --seperti dengan orang-orang di sekitarku dulu. Jangan selalu merasa yang tersakiti, bisa jadi kitalah yang menyakiti.

Terakhir aku ingin menulis quote dari Paulo Coelho dalam buku The Magical Moment, Saat-Saat Penuh Inspirasi yang cocok dijadikan penyemangat saat lelah. Dan ini relate banget sama aku. Berikut quotenya:

"Jangan menjadi orang yang mencari, menemukan, lalu melarikan diri."

Berkaitan dengan hal tersebut, banyak orang yang kabur (istilah di sini untuk karyawan yang resign tanpa izin). Nah, setiap kali ingin menyerah aku mencoba menyebutkan satu per satu kalimat motivasi yang sengaja aku kumpulkan. Salah satunya quote di atas.

Pertama kita mencari pekerjaan yang dirasa cocok (mencari). Kemudian melamar dan diterima (menemukan). Namun di sini aku harus menunggu selama dua mingguan. Tahu sendirilah bagaimana tinggal di luar saat kita belum bekerja. Lalu aku mulai bekerja. Meski dirasa capek tapi aku harus menghargai prosesku ke sini. Aku tidak ingin menyerah begitu saja.

Untuk ke depannya aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tetapi aku akan terus memperjuangkan keputusanku semampu dan sebisaku. Semoga Allah meridhoi langkahku. Aamiin….

Tulisan ini sebenarnya sekadar curhat, ygy. Bukan bermaksud ingin menggurui atau apalah itu. Mohon maaf sebesar-besarnya apabila ada kekeliruan serta kesalahan yang disengaja atau pun tidak. Aku selalu terbuka untuk menerima krisar.

NB:
Semua tempat, nama, atau hal yang berkaitan dengan identitas sengaja tidak aku sebutkan di sini. Mohon maaf juga apabila ada pihak yang tersinggung.

Salam Literasi

Lathifah S

Ruang Rindu, 4 Juli 2022

Post a Comment

0 Comments