Antologi Cerpen FPB
By : Lathifah S
Berbeda dengan biasanya. Ruangan kelas lantai bawah hingga lantai atas tampak lengang. Terdapat satu dua guru yang mengajar di kelas. Demikian juga kelas XI MIA 5. Hanya beberapa anak di sudut ruangan.
Tak ditemukan anak laki-laki. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Mulai dari berlatih voli bagi anggota delegasi lomba, asyik mengobrol di parkiran sekolah, jadi suporter kocak di lapangan belakang sekolah, hingga bertemu guru.
Lisa merasa bosan berada di dalam kelas. Luntang-lantung tak ada kerjaan, kecuali memandang atap kelas yang mulai pensiun.
"Enaknya ngapain, ya?" tanya Lisa ke Uma, teman sebangkunya. Mereka berdua memilih untuk tetap duduk. Tanpa ikut nimbrung dengan yang lain.
"Kalau aku inginnya pergi ke lapangan voli putri. Jadi suporter" Uma menjawab dengan suara khasnya. Mirip suara anak kecil. Walau sebenarnya Uma telah berusia 16 tahun.
Ikha dan Dzama datang. Mereka bermaksud ingin mengajak Lisa dan Uma pergi ke lapangan voli perempuan. Kebetulan kelas mereka senasib, sama-sama lengang tanpa guru pengampu.
"Assalamu’alaikum" Ikha memulai pembicaraan.
"Wa ’alaikumsalam" Lisa dan Uma kompak menjawab salam.
"Main yuk. Nggak suntuk apa di kelas terus?" Dzama langsung to the point. Tanpa basa-basi terlebih dahulu.
"Main? Kayak anak kecil aja. Main mulu kerjaannya. Ingat, kita udah gede lo," jawab Uma yang notabenenya memiliki jiwa humoris.
"Iya nggak mau aht. Ntar main hati lagi. Kan bahaya a" Lisa lanjut menimpali.
"Bukan gitu maksudku. Kita main ke lapangan voli perempuan . Lihat mereka tanding plus jadi suporter dadakan" Ikha mencoba menjelaskan.
"Ya udah. Ayo pergi" Lisa langsung mengambil kunci motor. Berdiri dan mengajak yang lainnya.
Mereka izin kepada guru BK terlebih dahulu agar lebih aman. Menulis nama masing-masing di secarik kertas putih yang di dalamnya memuat nama-nama siswa-siswi yang izin menjadi suporter.
Guru BK sengaja mengizinkan supaya pertandingan menjadi ramai dan hidup, bukan sunyi sepi tanpa penonton. Pertandingan basket ini merupakan pertandingan setiap dua tahun sekali yang diikuti oleh beberapa sekolah di satu kabupaten. Kebetulan sekolah mereka menjadi tuan rumah dalam perlombaan cabang basket putra maupun basket putri.
Uma membonceng Lisa dan Dzama membonceng Ikha. Perjalanan menuju lapangan basket tidak lama, hanya butuh beberapa menit mereka telah sampai di lokasi. Awalnya ada seorang guru yang mendampingi mereka, Pak Kisna. Namun di tengah perjalanan tiba-tiba Pak Kisna berhenti di salah satu toko. Tidak melanjutkan perjalanan. Beliau membeli obat untuk mengisi keperluan galeri UKS.
"Hati-hati, Nak," sapa Pak Kisna dari kejauhan.
"Siap, Bapak” Serentak Lisa dan Uma menjawab.
Tiba di lapangan mereka langsung mencari posisi senyaman mungkin. Di bawah pohon jati dekat lapangan. Yang awalnya bareng dari berangkat, akhirnya mereka berpisah -walau pada akhirnya bersama juga-. Lisa memilih bersama Leta, teman sebangkunya ketika kelas sepuluh. Leta juga ikut meramaikan pertandingan ini. Mewakili sekolahnya.
"Ingat! Semangat jangan sampai kendor. Jangan biarkan tim lawan di atas angin" Lisa memberi semangat ke Leta dan teman-teman lainnya.
"Siap bos" Leta pasang posisi siap dengan sikap hormat ala anak pramuka.
Tak lama kemudian pertandingan dimulai. Diawali dengan tim I dan tim II. Lalu disusul oleh tim III lawan tim IV, serta tim V lawan tim VI. Tim IV adalah tim dari sekolahannya Lisa alias bertindak sebagai tuan rumah.
Anggota tim saling berjabat tangan, dilanjut dengan bersua foto. Anak jurnalis pun tidak ketinggalan untuk mengabadikan momen tersebut. Serta pendukung masing-masing tim juga mencuri-curi foto, baik dari kalangan pemain basket maupun penonton.
Priiiittt...
Pertandingan dimulai. Anak-anak bersorak dukung sana dukung sini ikut meramaikan. Suasana bertambah seru.
"Ayo semangat!" Pelatih dari tim I menyemangati anak didiknya.
"Yo semuanya yo. Semangat semangat semangat" Lisa berteriak dengan suara khasnya. Merdu tidak, nyaring iya.
Mendengar ucapan Lisa tadi, teman-teman di sekitarnya tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin Lisa yang terkenal sebagai anak kalem bisa berteriak seperti itu? Sebagian dari mereka ada yang belum mengenal pribadi Lisa lebih dalam. Hanya mengetahui Lisa dari perkataan orang lain tentangnya.
"Wih, bisa begitu juga ternyata," gurau Leta.
“He, jangan kau kira diriku ini biasa-biasa saja ya” Lisa menyengir.
“Terus? Apa yang luar biasa dari dirimu coba?”
“Cintaku kepadamu,” jawab Lisa, gadis kalem yang jago merayu ataupun nge-gombal.
Lisa suka modusin sesama teman perempuannya. Semata-mata untuk melihat orang lain bahagia. Itu saja.
“Ehem, mulai deh” Leta menyenggol pundaknya Lisa.
Lanjut, mereka menonton perseteruan bola basket. Walau sebenarnya tidak ada yang didukung. Mereka masih stay menunggu tim kecintaan, tim IV.
Hasil pertandingan babak pertama antara Tim I dan Tim II dimenangkan oleh Tim II. Menjadi tantangan tersendiri bagi Leta dan kawan-kawannya untuk bermain lebih gesit lagi.
Melihat cara bermain dari Tim II yang bisa dibilang cukup apik.
Tiba saatnya Tim III tanding dengan Tim IV, tim basket putri dari sekolahannya Lisa. Sama seperti permainan sebelumnya. Pertandingan dimulai dengan menentukan tempat, berjabat tangan antar anggota tim, lalu foto bersama.
Kali ini pertandingan lebih sengit. Dilihat dari segi suporter, tim IV lah yang menang. Namun, untuk jalannya pertandingan ke depan tidak ada yang mengetahui siapa yang akan menjadi juara. Lisa dan teman-temannya antusias menyemangati sekolah mereka. Ada juga yang menyemangati jurinya, kakak kelas mereka.
“Aku dan Uma ke sekolahan dulu ya. Ada keperluan mendadak. Nanti aku ke sini lagi.” Ikha menghampiri Lisa. Pamit ingin pergi.
“Sepeda motornya gimana?” Umpan balik Lisa.
“Aman. Kan pakai sepeda motorku” Ikha memberi kepastian pada Lisa.
“Ok. Silakan pergi. Hati-hati di jalan. Jaga Uma dengan sebaik mungkin. Hha...” Sembari membenarkan posisi duduknya Lisa mengizinkan Uma dan Ikha untuk pergi.
Pertandingan kali ini beda jauh dari pertandingan sebelumnya. Bukan hanya pemain basket yang tegang, suporter pun ikut tegang. Saling sindir menyindir. Ada sebagian anak yang suudzon terhadap tim III, takut jika mereka curang.
“Mereka mainnya nggak suportif, pakai bantuan makhluk halus. Lihat saja perbedaan main mereka sebelum dan sesudah di pukul tangannya oleh pelatih,” bisik Dzama di telinga Leta.
“Hust, jangan bilang yang tidak-tidak”
Leta tak mempercayai akan hal semacam itu. Ia lebih memilih untuk memberi semangat kepada teman-temannya yang sedang berjuang, terutama Leta.
Gubrak...
Leta terjatuh. Kakinya berdarah. Ia berusaha bangkit kembali dengan menyandang rasa perih di kaki. Satu sama lain saling menyalahkan. Apa gunanya sebuah tim tanpa ada rasa saling membutuhkan?.
Tim lawan memanfaatkan kondisi Leta. Mereka selalu mengarahkan bola kepada Leta. Tim IV ketinggalan poin walau sudah ganti pemain berulang kali.
“Ah, sial. Bagaimana ini?” gumam Lisa dalam hati. Berusaha mencari solusi.
Terlintas di benak Lisa untuk memanggil Gabriel, cowok yang dikabarkan sedang dekat dengan Leta. Opini Lisa menyatakan bahwa jikalau Gabriel datang menyemangati Leta, mungkin ia akan menjadi lebih baik dan bersemangat lagi. Jelas dari raut muka Leta jikalau ia saat ini sedang galau karena tidak berjumpa Gabriel selama satu minggu penuh.
Lisa memandang wajah suporter dari sekolahannya, mencari batang hidung Gabriel.
“Kamu lihat Gabriel tidak?” tanya Lisa kepada teman di sekitarnya.
“Tuh di sana yang duduk di atas motor, jaket marun, kacamata hitam,” jawab salah satu temannya sambil menunjuk ke arah Gabriel.
Benar saja, itu Gabriel yang sedari tadi menutup rapat mulutnya. Lisa langsung menghampiri Gabriel tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang semakin runyam. Tanpa basa-basi Lisa membawa Gabriel di dekat lapangan basket.
“Sekarang kamu harus bersorak sekencang mungkin untuk menyemangati Leta. Dia butuh semangat dari kamu”
“Aku? Kamu saja sebagai sohibnya” Gabriel menolak.
“Kamu gak lihat apa Leta jatuh bangun?. Dia tipe perempuan yang rada manja. Jadi untuk saat ini saja kamu tunjukin sama dia bahwa kamu care” Lisa mulai emosi melihat sikap cueknya Gabriel.
Gabriel pergi meninggalkan lapangan. Kembali pada posisi semula. Sedangkan para pemain satu per satu mulai kehabisan tenaga. Berulang kali meminta minum. Hingga babak pertama selesai Tim IV kalah.
Selang waktu beberapa menit untuk beristirahat. Akhirnya pertandingan dimulai kembali. Kali ini Leta tak berharap lebih, kecuali untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.
Suporter kembali heboh, memecahkan keheningan sesaat. Ada yang berbeda, suporter tim IV mulai menurun, tak puas dengan hasil pertandingan babak pertama. Saling menyalahkan satu sama lain. Kekompakan mulai pudar.
Di saat yang bersamaan muncullah gerombolan anak laki-laki memakai jaket kelas dan helm dari sudut lapangan yang tidak di tempati orang.
Perhatian seluruh suporter beralih ke mereka. Suasana lengan sejenak.
“Mulai, yo ayo semangat teruntuk Tim IV” dari belakang ada seseorang yang memberi aba-aba.
Lisa mengamati wajah lelaki tersebut. Benar saja, itu Gabriel, cowok cool di sekolah yang menjadi incaran para wanita atas karismatiknya. Dia berubah dalam waktu singkat. Ikut menjadi suporter alay bagi para pemain bola basket Tim IV, terutama Leta.
Lucu? Ya itulah ulah para lelaki demi memberi semangat.
Hingga pertandingan berakhir dengan hasil sangat memuaskan. Tim IV memenangkan pertandingan. Poinnya melesat jauh dari semula. Mereka menang.
By : Lathifah S
Suporter Alay
Berbeda dengan biasanya. Ruangan kelas lantai bawah hingga lantai atas tampak lengang. Terdapat satu dua guru yang mengajar di kelas. Demikian juga kelas XI MIA 5. Hanya beberapa anak di sudut ruangan.
Tak ditemukan anak laki-laki. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Mulai dari berlatih voli bagi anggota delegasi lomba, asyik mengobrol di parkiran sekolah, jadi suporter kocak di lapangan belakang sekolah, hingga bertemu guru.
Lisa merasa bosan berada di dalam kelas. Luntang-lantung tak ada kerjaan, kecuali memandang atap kelas yang mulai pensiun.
"Enaknya ngapain, ya?" tanya Lisa ke Uma, teman sebangkunya. Mereka berdua memilih untuk tetap duduk. Tanpa ikut nimbrung dengan yang lain.
"Kalau aku inginnya pergi ke lapangan voli putri. Jadi suporter" Uma menjawab dengan suara khasnya. Mirip suara anak kecil. Walau sebenarnya Uma telah berusia 16 tahun.
Ikha dan Dzama datang. Mereka bermaksud ingin mengajak Lisa dan Uma pergi ke lapangan voli perempuan. Kebetulan kelas mereka senasib, sama-sama lengang tanpa guru pengampu.
"Assalamu’alaikum" Ikha memulai pembicaraan.
"Wa ’alaikumsalam" Lisa dan Uma kompak menjawab salam.
"Main yuk. Nggak suntuk apa di kelas terus?" Dzama langsung to the point. Tanpa basa-basi terlebih dahulu.
"Main? Kayak anak kecil aja. Main mulu kerjaannya. Ingat, kita udah gede lo," jawab Uma yang notabenenya memiliki jiwa humoris.
"Iya nggak mau aht. Ntar main hati lagi. Kan bahaya a" Lisa lanjut menimpali.
"Bukan gitu maksudku. Kita main ke lapangan voli perempuan . Lihat mereka tanding plus jadi suporter dadakan" Ikha mencoba menjelaskan.
"Ya udah. Ayo pergi" Lisa langsung mengambil kunci motor. Berdiri dan mengajak yang lainnya.
Mereka izin kepada guru BK terlebih dahulu agar lebih aman. Menulis nama masing-masing di secarik kertas putih yang di dalamnya memuat nama-nama siswa-siswi yang izin menjadi suporter.
Guru BK sengaja mengizinkan supaya pertandingan menjadi ramai dan hidup, bukan sunyi sepi tanpa penonton. Pertandingan basket ini merupakan pertandingan setiap dua tahun sekali yang diikuti oleh beberapa sekolah di satu kabupaten. Kebetulan sekolah mereka menjadi tuan rumah dalam perlombaan cabang basket putra maupun basket putri.
Uma membonceng Lisa dan Dzama membonceng Ikha. Perjalanan menuju lapangan basket tidak lama, hanya butuh beberapa menit mereka telah sampai di lokasi. Awalnya ada seorang guru yang mendampingi mereka, Pak Kisna. Namun di tengah perjalanan tiba-tiba Pak Kisna berhenti di salah satu toko. Tidak melanjutkan perjalanan. Beliau membeli obat untuk mengisi keperluan galeri UKS.
"Hati-hati, Nak," sapa Pak Kisna dari kejauhan.
"Siap, Bapak” Serentak Lisa dan Uma menjawab.
Tiba di lapangan mereka langsung mencari posisi senyaman mungkin. Di bawah pohon jati dekat lapangan. Yang awalnya bareng dari berangkat, akhirnya mereka berpisah -walau pada akhirnya bersama juga-. Lisa memilih bersama Leta, teman sebangkunya ketika kelas sepuluh. Leta juga ikut meramaikan pertandingan ini. Mewakili sekolahnya.
"Ingat! Semangat jangan sampai kendor. Jangan biarkan tim lawan di atas angin" Lisa memberi semangat ke Leta dan teman-teman lainnya.
"Siap bos" Leta pasang posisi siap dengan sikap hormat ala anak pramuka.
Tak lama kemudian pertandingan dimulai. Diawali dengan tim I dan tim II. Lalu disusul oleh tim III lawan tim IV, serta tim V lawan tim VI. Tim IV adalah tim dari sekolahannya Lisa alias bertindak sebagai tuan rumah.
Anggota tim saling berjabat tangan, dilanjut dengan bersua foto. Anak jurnalis pun tidak ketinggalan untuk mengabadikan momen tersebut. Serta pendukung masing-masing tim juga mencuri-curi foto, baik dari kalangan pemain basket maupun penonton.
Priiiittt...
Pertandingan dimulai. Anak-anak bersorak dukung sana dukung sini ikut meramaikan. Suasana bertambah seru.
"Ayo semangat!" Pelatih dari tim I menyemangati anak didiknya.
"Yo semuanya yo. Semangat semangat semangat" Lisa berteriak dengan suara khasnya. Merdu tidak, nyaring iya.
Mendengar ucapan Lisa tadi, teman-teman di sekitarnya tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin Lisa yang terkenal sebagai anak kalem bisa berteriak seperti itu? Sebagian dari mereka ada yang belum mengenal pribadi Lisa lebih dalam. Hanya mengetahui Lisa dari perkataan orang lain tentangnya.
"Wih, bisa begitu juga ternyata," gurau Leta.
“He, jangan kau kira diriku ini biasa-biasa saja ya” Lisa menyengir.
“Terus? Apa yang luar biasa dari dirimu coba?”
“Cintaku kepadamu,” jawab Lisa, gadis kalem yang jago merayu ataupun nge-gombal.
Lisa suka modusin sesama teman perempuannya. Semata-mata untuk melihat orang lain bahagia. Itu saja.
“Ehem, mulai deh” Leta menyenggol pundaknya Lisa.
Lanjut, mereka menonton perseteruan bola basket. Walau sebenarnya tidak ada yang didukung. Mereka masih stay menunggu tim kecintaan, tim IV.
Hasil pertandingan babak pertama antara Tim I dan Tim II dimenangkan oleh Tim II. Menjadi tantangan tersendiri bagi Leta dan kawan-kawannya untuk bermain lebih gesit lagi.
Melihat cara bermain dari Tim II yang bisa dibilang cukup apik.
Tiba saatnya Tim III tanding dengan Tim IV, tim basket putri dari sekolahannya Lisa. Sama seperti permainan sebelumnya. Pertandingan dimulai dengan menentukan tempat, berjabat tangan antar anggota tim, lalu foto bersama.
Kali ini pertandingan lebih sengit. Dilihat dari segi suporter, tim IV lah yang menang. Namun, untuk jalannya pertandingan ke depan tidak ada yang mengetahui siapa yang akan menjadi juara. Lisa dan teman-temannya antusias menyemangati sekolah mereka. Ada juga yang menyemangati jurinya, kakak kelas mereka.
“Aku dan Uma ke sekolahan dulu ya. Ada keperluan mendadak. Nanti aku ke sini lagi.” Ikha menghampiri Lisa. Pamit ingin pergi.
“Sepeda motornya gimana?” Umpan balik Lisa.
“Aman. Kan pakai sepeda motorku” Ikha memberi kepastian pada Lisa.
“Ok. Silakan pergi. Hati-hati di jalan. Jaga Uma dengan sebaik mungkin. Hha...” Sembari membenarkan posisi duduknya Lisa mengizinkan Uma dan Ikha untuk pergi.
Pertandingan kali ini beda jauh dari pertandingan sebelumnya. Bukan hanya pemain basket yang tegang, suporter pun ikut tegang. Saling sindir menyindir. Ada sebagian anak yang suudzon terhadap tim III, takut jika mereka curang.
“Mereka mainnya nggak suportif, pakai bantuan makhluk halus. Lihat saja perbedaan main mereka sebelum dan sesudah di pukul tangannya oleh pelatih,” bisik Dzama di telinga Leta.
“Hust, jangan bilang yang tidak-tidak”
Leta tak mempercayai akan hal semacam itu. Ia lebih memilih untuk memberi semangat kepada teman-temannya yang sedang berjuang, terutama Leta.
Gubrak...
Leta terjatuh. Kakinya berdarah. Ia berusaha bangkit kembali dengan menyandang rasa perih di kaki. Satu sama lain saling menyalahkan. Apa gunanya sebuah tim tanpa ada rasa saling membutuhkan?.
Tim lawan memanfaatkan kondisi Leta. Mereka selalu mengarahkan bola kepada Leta. Tim IV ketinggalan poin walau sudah ganti pemain berulang kali.
“Ah, sial. Bagaimana ini?” gumam Lisa dalam hati. Berusaha mencari solusi.
Terlintas di benak Lisa untuk memanggil Gabriel, cowok yang dikabarkan sedang dekat dengan Leta. Opini Lisa menyatakan bahwa jikalau Gabriel datang menyemangati Leta, mungkin ia akan menjadi lebih baik dan bersemangat lagi. Jelas dari raut muka Leta jikalau ia saat ini sedang galau karena tidak berjumpa Gabriel selama satu minggu penuh.
Lisa memandang wajah suporter dari sekolahannya, mencari batang hidung Gabriel.
“Kamu lihat Gabriel tidak?” tanya Lisa kepada teman di sekitarnya.
“Tuh di sana yang duduk di atas motor, jaket marun, kacamata hitam,” jawab salah satu temannya sambil menunjuk ke arah Gabriel.
Benar saja, itu Gabriel yang sedari tadi menutup rapat mulutnya. Lisa langsung menghampiri Gabriel tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang semakin runyam. Tanpa basa-basi Lisa membawa Gabriel di dekat lapangan basket.
“Sekarang kamu harus bersorak sekencang mungkin untuk menyemangati Leta. Dia butuh semangat dari kamu”
“Aku? Kamu saja sebagai sohibnya” Gabriel menolak.
“Kamu gak lihat apa Leta jatuh bangun?. Dia tipe perempuan yang rada manja. Jadi untuk saat ini saja kamu tunjukin sama dia bahwa kamu care” Lisa mulai emosi melihat sikap cueknya Gabriel.
Gabriel pergi meninggalkan lapangan. Kembali pada posisi semula. Sedangkan para pemain satu per satu mulai kehabisan tenaga. Berulang kali meminta minum. Hingga babak pertama selesai Tim IV kalah.
Selang waktu beberapa menit untuk beristirahat. Akhirnya pertandingan dimulai kembali. Kali ini Leta tak berharap lebih, kecuali untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.
Suporter kembali heboh, memecahkan keheningan sesaat. Ada yang berbeda, suporter tim IV mulai menurun, tak puas dengan hasil pertandingan babak pertama. Saling menyalahkan satu sama lain. Kekompakan mulai pudar.
Di saat yang bersamaan muncullah gerombolan anak laki-laki memakai jaket kelas dan helm dari sudut lapangan yang tidak di tempati orang.
Perhatian seluruh suporter beralih ke mereka. Suasana lengan sejenak.
“Mulai, yo ayo semangat teruntuk Tim IV” dari belakang ada seseorang yang memberi aba-aba.
Lisa mengamati wajah lelaki tersebut. Benar saja, itu Gabriel, cowok cool di sekolah yang menjadi incaran para wanita atas karismatiknya. Dia berubah dalam waktu singkat. Ikut menjadi suporter alay bagi para pemain bola basket Tim IV, terutama Leta.
Lucu? Ya itulah ulah para lelaki demi memberi semangat.
Hingga pertandingan berakhir dengan hasil sangat memuaskan. Tim IV memenangkan pertandingan. Poinnya melesat jauh dari semula. Mereka menang.
0 Comments
Jangan melakukan spam, tak ada link dan bicara kotor.
Berkomentarlah dengan cerdas