Cerpen : Lika Liku Boyong

Rahma adalah gadis desa yang berasal dari keluarga sederhana tak begitu kaya dan tak begitu miskin. Ayahnya
bernama Pak Fahmi dan ibunya bernama Bu Nasti. Rahma memiliki seorang adek yang bernama Kiki
yang masih duduk di bangku SD. Bisa di bilang mereka adalah keluarga yang solid.
Sebagai seorang kakak, Rahma ingin sekali tetap di rumah membantu pekerjaan rumah ibunya. Namun, yang ada dalam
hati dan fikirannya saat ini adalah rasa ingin mondok. Mengetahui hal ini, Pak Fahmi tidak melarang
keinginan anaknnya tersebut. Lain halnya dengan Ibu Nasti yang merasa sulit untuk melepas Rahma
mondok. Menurut bu Nasti “Rahma pikiranya masih ke kanak-kanakan.” Jadi belum bisa hidup mandiri di
pondok.”
Dalam hal ini Rahma dan ayahnya sepakat untuk memondokkan Rahma. Lambat laun ibunya pun menyetujui,
walau awalnya sedikit tidak rela. Hasil pemikiran mereka selama berhari-hari akhirnya menemukan titik
terang. Rahma di pondokkan di Pondok Pesantren An-Nur yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya.
Tiba saat yang di tunggu-tunggu untuk rahma masuk ke pondok. Ponpes ini di asuh oleh K.H Azam bin
Abdillah. Pertama kali Rahma masuk ke pondok, ia merasa takut, dan terbesit dalam benaknya untuk
kembali ke rumah alias tidak mondok. “Kira-kira kapan ya aku pulang dari pndok.” Ujarnya dalam hati.
Beruntung ia memiliki seorang ayah yang selalu menyemangatinya untuk mondok. Rahma
doakan oleh Abah Azam agar betah dalam mencari ilmu di pondok yang di asuhnya tersebut. Kebetulan Bu
Nasti, ibunya Rahma tidak bisa mengantar rahma ke pondok di karenakan ada keperluan lain.
Pak Fahmi pulang meninggalkan Rahma. Di hadapan Ayahnya Rahma menahan air mata agar tak tumpah
membasahi pipinya.
“Nak Ayah pulang dulu ya. Kamu belajar yang sungguh-sungguh di sini.”
“Iya yah.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Rahma pergi ke kamar pondok, duduk di dekat jendela melihat ayahnya yang perlahan meninggalkan pondok.
Awal masuk pondok benar-benar menguras air mata Rahma, karena ia rindu dengan orang tuanya. Melihat
kondisi Rahma yang menangis membuat mbak Nadia selaku mbak pengurus bersimpati.
“Kamu mondok di sini atas kemauanmu sendiri kam...?”
“Iya.” Jawab Rahma.
“Lalu mengapa kamu menangis..?” tanyanya lagi.
“Entah.... aku ingin bertemu Ayah dan Ibu ku.”
“Wajar bila kamu menangis. Hal ini juga di alami oleh teman-temanmu yang lain karena pertama kali
mondok.”
“Iya.”
Sampai di dapur, Rahma di ajak makan bersama mbak-mbak pengurus lainya. Saat makan berlangsung tiba-tiba pintu
pembatas antara dapur dan pondoknya kang santri terbuka. Rahma spontan menoleh, terlihat di pondok putra ada dua orang santri yaitu Ahmad dan Lutfi. Ahmad sendiri merupakan teman sedesa Rahma
yang sedari TK satu sekolahan terus. Sedangkan Lutfi adalah santri lawas, teman sekamar Ahmad yang sudah mondok sekitar tiga tahun.
Ada hal aneh dihati Rahma, tiba-tiba jantungnya berdetak lebih kencang seakan sedang tergonjang-ganjingkan.
“Rahma” sapa mbak Fania sambil menepuk pundaknya
“Iya,,, ada apa ?” Rahma kaget.
“ jangan lihat kang santri.”
“Iya iya. Maaf.”
“Udah ayo ke atas.”
Kegiatan di Ponpes An Nur bisa di bilang cukup padat. Bangun tidur hingga tidur lagi, semuanya sudah di
atur sedemikian rupa. Begitupun dengan santri yang harus pandai dalam mengatur waktu. Rahma kebetulan dari MTs
sedikit tahu tentang agama. Jadi, tidak kaget dengan pelajaran salaf karena di pondok ini di wajibkan
setiap harinya untuk sorogan yang di mulai pukul 22.00 wib. Pada mulanya Rahma belum memiliki
kitab-kitab materi sorogan, sehingga dengan ikhtiyarnya ia menghafal dari kitab yang di pinjami oleh
mbak pondok.
“Mbak, boleh pinjam kitabnya.”
“Kamu belum dapat kitab..?”
“Belum mbak... saya santri baru.”
“Ya udah, ini kitabnya buat adek saja...”
“Hehehe makasih mbak.”
“Iya. Dijaga baik-baik ya, jangan dilipat, taruh di tempat yang sesuai.”
“Ok siap.” Dengan posisi hormat. Karena ia berusaha mengakrabi mbak-mbak pondok.
Baris demi baris, nadhom demi nadhom, lembar demi lembar ia hafalkan dengan konsentrasi plus ngobrol
dengan teman sekamarnya. Keasyikan mengobrol membuat Rahma lupa akan hafalannya hingga waktu
khusus nambah hafalan terbuang sia-sia. Karena topik pembicaraan mereka adalah perasaan ingin pulang.
Wajar, mereka kan santri baru yang masih beraroma ayah ibu.
Seketika adzan maghrib berkumandang, Rahma bersama santri lainya bergegas mengambil wudhu untuk
solat berjamaah yang diimami oleh ketua pondok putri.
“wudhu-wudhu bagi yang sholat.”Aba-aba dari mbak pengurus.
Selesai sholat dan zdikir bersama, para santri di wajibkan untuk mengaji Al Qur’an yang langsung di ajari oleh
Ibu  Halimah ( istrinya Abah Azam ). Pertama kali mengaji dengan Ibu, Rahma merasa grogi akut
alias takut jikalau membacanya salah. Di tengah-tengah mengaji Rahma di hentikan oleh Ibuk karena ada
bacaanya yang keliru. Padahal yang mengaji ada enam santriwati secara bersamaan. Spontah hatinya
merasa deg.. deg.. deg..an.
Ternyata untuk pertama kali mengaji Al Qur’an di pondok, Ibu pondok membagi santri yang langsung
mengaji Al Qur’an dikarenakan bacaan tajwidnya tidak banyak salah dalam membaca dan santri yang
harus mengaji kitab terlebih dahulu agar bisa membaca Al Qur’an dengan tartil. Salah satu santri yang
langsung mengaji Al Qur’an dengan Ibu pondok adalah Rahma.
“Alhamdullilah... aku langsung mengaji Al Qur’an” ucap syukur Rahma.
Walau demikian Rahma masih tidak percaya akan kenyataan itu, merasa tidak pantas karena waktu mengaji di
kelas ia diledekin belum bisa membaca Al Qur’an dengan benar oleh temannya. Dengan semangat mendebu-
debu dalam hati Rahma ingin belajar Al Qur’an lebih dalam lagi. Usai mengaji Al Qur’an tiba saatnya
untuk sholat isya’ berjama’ah. Para santri langsung memadati mushola pondok karena masih menyandang
wudhu.
“Bagi santri wati yang ketinggalan sholat berjamaah akan di kenai takzir, apalagi yang sengaja tidak mengikuti
sholat berjama’ah. Tentu takziranya akan lebih berat lagi.” Ujar Mbak Imah selaku mbak pengurus.
Kegiatan selanjutnya adalah makan, sebelum itu para santri yang ingin makan harus mengumpulkan piring
untuk di bagi nasi plus lauk secara merata. Sudah menjadi kebiasaan di pondok makan bersama. Walau
makanan sederhana insyaalah nikmat kalau di makan bersama-sama. Terasa lebih syahdu dan barokah. Itu
menurut mereka di sela berjalan mengambil maknan di dapur. Santri di sini juga di biasakan untuk hidup
saling asah, saling asih, dan saling asuh agar mereka merasa betah terutama bagi santri baru.
“Makanannya di habisin dek, habis itu langsung ke bawah ngaji kitab.”
Mendengar perkataan itu membuat Rahma dan teman-temannya langsung ke bawah untuk mengaji kitab dengan
membawa kitab yang telah di pinjami oleh mbak pondok. Ngaji kitab di awali dengan nadhoman Alfiyah
ibnu Malik. Saat mengaji Rahma ketiduran mungkin karena kelelahan dan belum terbiasa. Dari awal ngaji
di mulai hingga selesai Rahma tidur dengan pulas hingga tak mendapat pelajaran apa-apa. Ketika
terbangun yang di dapati hanya sebagian mbak pondok yang masih asyik mengobrol dan teman-teman
akrabnya tidak ada. Ia kembali ke kamar sendirian, sesampainya di kamar tiba-tiba Mbak Fania yang
gundah karena kitabnya hilang usai di pakai mengaji. Mbak Fania tadi juga ketiduran, tapi bangunnya
lebih awal dari Rahma.
“Kitab ku mana ya kok nggak ada.”
“ Tadi kamu taruh mana..?” tanya Rahma.
Tiba-tIba hadir dari belakang mbak Nash dengan kitab di tangannya.
“Ini kitabmu...?” sambil menodongkan kitab.
“Alhamdullialah akhirnya ketemu juga.”
“Lain kali kalau menaruh sesuatu jangan sembarangan, jaga baik-baik kitab ini.” Nasihat dari Mbak Nash.
“ Iya mbak makasih.”
“ Masama".
Rahma pergi ke bawah untuk ambil air minum, di dapur ia melihat kang santri tak lain adalah Kang Lutfi.
Cowok yang dilihat Rahma saat makan didapur dan untuk yang kedua kalinya tubuh Rahma gemetar
melihat paras tampan kang Lutfi. Tiba-tiba datang mbak Fania dari arah yang tak disangka-sangka hingga
Rahma terkejut.
“Hayo,,, liat apa. Aku tau kog apa yang ada dipikiranmu sekarang”
“Ah kayak peramal aja kamu”
“Hhe... tidur dulu, besok dilanjut lagi”
“Lanjut apa?”
“Lanjut lihat kang Lutfi”
“Ah kau ni...”
Rahma tersipu malu dengan pipi kemerahan ketahuan sedang memandang kang Lutfi. Kejadian tadi membuat
perilaku Rahma beda dari biasanya hingga sebelum tidur ia memikirkan kang Lutfi. Ia kembali mengingat-
ingat tujuan awal mondok, yaitu mencari ilmu. Ia pun tidur dengan pulas sampai jam 04:00. Bangun
tidur ia langsung mandi, kedinginan karena belum terbiasa mandi sebelum subuh. Setelah mandi ia
kembali melanjutkan tidurnya samppai adzan berkumandang dari masjid dan mushola terdekat. Allahu 
akbar,,Allahu akbar itulah yang di dengar dalam mimpi Rahma saat di bangunkan Mbak Fania. Spontan ia
lari mengambil wudhu dan sholat subuh berjamaah lalu kembali ngaji bandongan. Ngaji bandongan putra
dan putri dijadikan satu, hanya terpisah oleh dinding pondok. Namun di lain bagian terdapat jendela yang
terbuat dari kaca sehingga Rahma dapat melihat kang santri termasuk juga kang Lutfi. Hal ini membuat
Rahma bersemangat 45 dan mengabaikan rasa kantuknya sampai akhir ngaji. Sedangkan sebagian teman-
temannya ada yang tertidur di bagian belakang. Untuk santri yang terbiasa tidur saat bandongan
berlangsung di ponpes An Nur biasa di juluki sebagai cah sayu .
Pagi yang cerah tak secerah hatinya Rahma. Ia teringat dengan keluarganya, kemudian menelfon orang tuannya di rumah.
Curhat kalau ingin boyong.
“Assalamualaikum,, Bu.”
“Waalaikumsalam, gimana kamu di sana.....”
“Aku ingin boyong bu, rindu rumah.”
“ Kamu di sana baik-baik saja kan nak..?”
“ Iya, tapi aku rindu Ayah dan Ibu. Aku ndak nafsu makan kepekiran rumah terus. Badan juga rasanya tidak enak.”
“ Besok Ibu kesana..”
Telefon langsung di matikan Bu Nasti. Rahma berderaian air mata rindu orang tua, rindu masakan ibu, rindu
suasana rumah bersama ayah, main bersama adik, pokoknya rindu serindu-rindunya. Pikiran sangat kacau,
entah kenapa yang di pikirkannya hanyalah rasa ingin boyong. Berbeda dari hari lalu, kali ini Rahma seperti orang
tak bersemangat lagi. Malas-malasan dalam kegiatan hingga tak fokus mengaji lagi.
Keesokan harinya Pak Fahmi, Bu Nasti, dan Kiki menyambangi Rahma, Bu Nasti orangnya tidak tegaan. Oleh
karena itu, ia bermaksud ingin membawa pulang Rahma dengan matur ke pada Pak Fahmi agar berkenan bilang ke
Abah Azam.
“ Bah, saya bermaksud ingin membawa Rahma boyong.” Matur Pak Fahmi.
“ Kenapa ?”
“ Saya tidak tega melihat kondisi Rahma.”
“ Awal-awal di pondok memang begitu, biarkan Rahma beradaptasi dulu.”
Kemudian datanglah Rahma sambil menangis.
“ Sekarang yang kamu inginkan apa nduk..?”
“ Ingin boyong bah.”
Abah Azam menasihati Rahma panjang lebar agar tidak jadi boyong. Beberapa hari kemudian Rahma boyong di
jemput ayahnya yang telah mengantongi izin dari Abah Azam. Awalnya Rahma senang sekali bisa kembali
berkumpul bersama keluarga tercinta. Genap seminggu Rahma di rumah, ia bermimpi bertemu Abah Azam yang
menyuruhnya untuk kembali ke Ponpes An Nur berkumpul bersama teman-teman lagi. Keesokan harinya Rahma
mendapat chat dari kang Lutfi yang juga memintanya kembali ke pondok. Rahma menceritakan masalah ini
dengan orang tuanya untuk menemukan solusi. Rahma, pun kembali ke pondok dan mondok di Ponpes An Nur
selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu Rahma bersungguh-sungguh melakukan kegiatan pondok. Kini saatnya Rahma
boyong yang sebenarnya dengan ridho Abah Azam serta semua orang yang ada di pondok. Mengajar di madrasah
adalah kegiatan sehari-hari Rahma setelah boyong. Hari jum’at terasa berbeda dengan hari-hari yang lainnya,
yaitu karena mendapat chat dari kang Lutfi.
“ Assalamualaikum dik Rahma.”
“ Waalaikumsalam kang Lutfi.”
“ Gimana kabarmu dik..?”
“Alhamdullialah baik kang.”
“Barakallah.”
“Iya makasih kang.”
Walau hanya sekedar menanyakan kabar, namun hal itu bagi Rahma memberikan harapan yang besar karena kang
Lutfi masih mengabdikan diri di pondok.
Dua tahun kemudian Rahma dipanggil Abah Azam untuk untuk menwmui beliau. Ada hal penting yang ingin di bicarakan oleh Abah Azam. Rahma
memenuhi panggilan itu dengan raut muka keheranan. Sesampainya di pondok ia langsung masuk menemui Abah
Azam yang terlihat sedang bersama Gus Yusuf putra terakhir Abah sekaligus penerus pemilik pondok. Tak ingin bertele-tele Abah Azam langsung memulai pembicaraan ke topik inti.
“ Nak Rahma, maukah kamu menikah dengan putraku Yusuf..?”
Rahma diam sejenak.
“ Rahma belum bisa jawab sekarang bah. Izinkan Rahma untuk istikhoroh dulu.”
Abah Azam memberi waktu tiga hari untuk memikirkan hal itu. Sebenarnya Rahma berkenan menikah dengan Gus Yusuf sebagai bentuk
ta’dhim santri terhadap kyainya. Namun di sisi lain ada kang Lutfi yang selama ini care dengan Rahma, bahkan dia
adalah cinta pertama bagi Rahma. Ketika ekspetasi tak seindah realita. Hasil istikhoroh sebanyak tiga kali adalah
menikah dengan Gus Yusuf. Orang tua Rahma mendukung hasil istikhoroh tersebut dan akhirnya Rahma menikah
dengan Gus Yusuf. Kang Lutfi hadir dalam pernikahan Gus Yusuf dan Rahma dengan menggandeng seorang gadis
cantik yang tak lain ialah istrinya. Gadis itu ternyata Mbak Fania, teman akrab Rahma waktu di pondok. Kang Lutfi
dan mbak Fania sedari kecil sudah di jodohkan oleh masing-masing kedua orang tuanya, namun Mbak Fania
sengaja merahasiakan hal itu dari Rahma dengan alasan agar Rahma lebih semangat mengaji

Post a Comment

4 Comments

Jangan melakukan spam, tak ada link dan bicara kotor.
Berkomentarlah dengan cerdas