Pondok Pesantren M * Kajen
Itulah nama tempat persinggahanku dalam menuntut ilmu -dulu, sekitar tiga tahun yang lalu. Dinamakan tempat persinggahan karena mondokku di sana singkat banget. Kurang lebih satu bulan tahun 2017, kalau tidak salah. Sekarang aku melanjutkan sekolah di madrasah aliyah yang jaraknya lumayan dekat dengan tempat tinggalku.
Ok, aku di sini tidak akan membahas alasan kepulanganku dari pondok. Itu sebuah masa lalu, bukan? Yang akan kubahas di sini adalah pengalaman-pengalaman menarik selama mondok di PM* Kajen -singkatan dari Ponpes M *.
Sebelumnya aku minta maaf atas kelancanganku menulis tulisan ini. Oleh karena itu, sudilah kiranya bagi teman-teman PM*, terkhusus pak yai dan bu nyai untuk memaafkan. Juga atas kepulanganku dari pondok yang tidak pada waktunya. Sekali lagi, maafkan diriku.
***
Asal kalian tahu, mondok di Kajen merupakan pertama kalinya bagiku jauh dari orang tua selama beberapa hari. Sebelumnya belum pernah aku berpisah dengan orang tua selama itu. Maklum lah ya, kan sedari kecil sekolahnya dekat rumah.
“Mondok di Kajen adalah pilihanku. Tidak betah mondok, itu bukan pilihanku.”
Kura-kura, eh, kira-kira begitulah ungkapan isi hatiku.
Saat memasuki halaman pesantren perasaanku kebat-kebit. Ingin mundur, takut. Ingin maju, lebih takut lagi. Kala itu muncul banyak dugaan-dugaan mengenai pondok. Tentang mbak-mbak pondok lah, pembelajaran di pondok lah, dan tentang lainnya. Tapi ada kalimat yang membuatku maju tak gentar -kayak judul lagu aja. Yaitu:
“Nek wis anguk-anguk, jeguri nyisan” kurang lebih artinya kek gini: kalau sudah melihat lihat (ke dalam sungai ataupun sejenisnya) sekalian loncatlah ke dalam. Rasakan sensasinya. Jangan setengah-setengah.
Sampai di sini paham, ‘kan?
Akhirnya aku fiks mondok di Kajen. Hari pertama oke-oke saja. Kalaupun menangis itu ya wajarlah. Kan baru permulaan. Hhe...
Hari kedua, ketiga, keempat, kelima, dan untuk ke yang seterusnya aku pun masih aman. Istilah kerennya no father alias tidak apa-apa, eh, tidak papa, ding.
Di PM* aku mendapatkan pengalaman yang luar biasa selama hidupku. Aku tidak hanya belajar ilmu agama. Tetapi lebih dari itu. Aku belajar ilmu hidup. Hidup bersama orang-orang baru yang sebelumnya belum pernah terbayangkan dan hidup mandiri. Semuanya serba mandiri -dalam artian tanpa campur tangan orang tua.
Aku belajar tentang cara menghormati orang lain, menjadi teman 24 jam, doktor dadakan untuk teman yang sedang sakit, penasihat sok bijak, dan lain sebagainya.
Untuk ilmu agama di pondok aku berkenalan dengan yang namanya ‘sorogan’. Kitab yang aku pelajari kala itu ialah kitab bulughul maram. Setiap harinya, kecuali hari jumat, aku, kami, harus menghafal maknanya. Setelah hafal pada malam harinya yang dimulai pukul 22:00 -kalau tidak keliru- semua santri putri menuju ke ruang ndalem untuk setoran alias membaca kitab kosongan.
“Rasanya berjuta cinta”
Semuanya serba nikmat. Dari bangun tidur sampai tidur lagi tak lepas dari kegiatan. Misalnya kegiatan bertukar pikiran #canda.
Mondok di Kajen itu enak, pake banget. Adem luar dalam. Udaranya segar dan sejuk. Tiap hari yang didengar berupa lantunan ayat-ayat suci Al Quran serta lalaran kitab. Selain itu, kita juga bisa dekat dengan wali Allah dan kyai.
Sekadar saran, kalau kalian ingin mondok tancapkan kuat dalam diri untuk mondok. -Jangan kasih kendor-.
Untuk info lebih lanjut silakan meninggalkan jejak di bawah ini.
0 Comments
Jangan melakukan spam, tak ada link dan bicara kotor.
Berkomentarlah dengan cerdas