Banyaknya pekerja di bawah umur terkait pelanggaran HAM -PPKn-
Minimnya angka pendapatan masyarakat sering menjadi kendala bagi generasi muda dalam menuntut ilmu. Sehingga mereka sering kali mengambil jalan keluar dengan cara putus sekolah. Alhasil mereka menempuh profesi pekerja di usia yang terbilang masih di bawah umur.
Jika ditinjau dari segi hukum, sebenarnya hal tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Yaitu dengan memperkerjakan anak usia di bawah umur.
Undang-undang telah mengatur batasan usia dalam bekerja. Bahwa usia untuk seorang pekerja haruslah di atas usia 18 tahun. Ini berarti minimal seorang pekerja haruslah tamatan SMA atau sederajat.
Pada umumnya usia lulusan SMA berkisar antara usia 17 – 18 tahun, tergantung tahun kelahiran sang anak. Itu artinya perlu beberapa bulan lagi agar anak tersebut bisa melamar pekerjaan.
Dalam pasal 39 tahun 1999 menjelaskan bahwa pelanggaran adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja atau tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Kasus pelanggaran HAM ini telah terjadi bertahun-tahun dan masyarakat menganggapnya sebagai suatu hal yang sepele. Lantas mengapa mereka melakukan hal tersebut?
Berikut penyebabnya.
1. Kurangnya pengetahuan tentang HAM
Tingkat pendidikan yang rendah sering memicu adanya pelanggaran HAM. Dalam hal ini misalnya. Seorang bos memperkerjakan karyawan di bawah umur. Padahal sudah jelas tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Sang anak juga sama. Ia belum memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang pelanggaran HAM. Jadi ia seenaknya melamar pekerjaan.
2. Minimnya tingkat pendapatan
Sudah saya singgung di atas bahwa angka kemiskinan adalah faktor jitu yang mendorong seseorang bekerja. Orang tua yang gajinya (maaf) pas-pasan dan hanya cukup untuk makan sehari-hari biasanya kewalahan membiayai sekolah anaknya.
Saat ini biaya pendidikan memang mahal. Setiap tahunnya harga buku-buku, alat tulis, SPP, dan semua hal yang menunjang pendidikan harganya semakin naik. Keadaan ini berbanding terbalik dengan tingkat pendapatan orang tua siswa.
Mereka sebenarnya tidak tega melihat anaknya yang masih di bawah umur bekerja. Namun apa daya, keadaan mendesak mereka. Karena kebutuhan hidup setiap hari seiring bertambahnya usia pun makin bertambah.
3. Faktor keluarga
Untuk faktor yang berasal dari keluarga sudah saya singgung pada poin nomor 2 tadi. Bedanya di sini terletak pada anggota keluarga. Kebanyakan ada sebuah keluarga yang anggotanya bekerja semua.
Hal ini lantas mempengaruhi pola pikir sang anak yang masih sekolah. Ia berpikir jika hidupnya terasa sepi dengan seluruh saudaranya yang bekerja. Jadi ia pun mengikuti jejak langkah saudara-saudaranya yang bekerja.
Anak seperti ini sekolahnya sering diabaikan oleh keluarganya sendiri yang sibuk bekerja. Maka dari itu sebaiknya sesibuk apa pun kita harus menyempatkan waktu untuk memperhatikan sekolah anak. Karena merekalah generasi penerus bangsa ini yang nasibnya harus lebih baik dari kita.
4. Faktor lingkungan
Ada syair yang mengatakan kalau seseorang itu tergantung pada siapa ia berteman. Bisa dipastikan kalau seorang anak sekolah yang bergaulnya dengan orang dewasa yang menganggur atau sudah bekerja, maka ia akan terpengaruh. Hal ini ada kaitannya dengan penjelasan saya tadi.
5. Penyalahgunaan teknologi
Ada juga anak putus sekolah yang disebabkan oleh -salah satunya- teknologi, terutama gadget. Keseringan anak menatap layar hp menjadikan candu bagi mereka dan akhirnya mengabaikan belajar.
Selain itu, saat ini banyak tawaran menggiurkan yang mejeng di media sosial. Sehingga anak sekolah lebih tertarik untuk bekerja (mencari uang sendiri). Tak bisa dipungkiri jika seseorang sudah pernah merasakan lezatnya mendapatkan uang dari hasil keringat sendiri lama kelamaan ia akan mendalami profesinya dan mengabaikan profesi utamanya, seorang murid.
6. Ketidaktegasan aparat penegak hukum
Maraknya pendirian perusahaan di daerah pedesaan maupun di kota-kota besar memang menggoda bagi sebagian siswa. Karena hal ini adalah peluang bagi mereka setelah lulus sekolah ataupun masih sekolah untuk mendaftarkan diri sebagai karyawan di tengah sulitnya mencari pekerjaan.
Dengan semakin banyaknya perusahaan baru berarti semakin banyak pula pekerja yang dibutuhkan. Maka para pemilik perusahaan berlomba-lomba untuk mempromosikan perusahaan kepada khalayak umum. Salah satunya di sekolah-sekolah.
Hal itu menunjukkan kurang tegasnya penegak hukum dalam memberi sanksi atas pelanggaran HAM. Para pelaku tidak akan merasa jera bila sanksi yang diberikan hanya sanksi ringan. Sebaliknya mereka akan mengulangi perbuatannya lagi sampai tujuannya tercapai.
Selain hal tersebut, aparat hukum yang bertindak sewenang-wenang juga memicu terjadinya pelanggaran HAM. Baik yang dilakukan aparat itu sendiri atau masyarakat sekitar.
Itulah sedikit pemaparan dari saya tentang banyaknya pekerja di bawah umur terkait pelanggaran hak asasi manusia yang diambil dari berbagai sumber.
Apabila adan kata-kata yang kurang sesuai mohon sekiranya bagi pembaca yang budiman untuk memberi kritik dan saran di kolom komentar di bawah.
Semoga bermanfaat.
1 Comments
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteJangan melakukan spam, tak ada link dan bicara kotor.
Berkomentarlah dengan cerdas