Halo sama semua. Apa kabar? Udah lama nih aku nggak ngepost di blog. Alasannya antara faktor sibuk sama malas hhe…
Jadi kali ini aku akan mereview sebuah buku pemberian dari Komunitas Perempuan Membaca. More info buku ini aku dapat saat iseng mencari komunitas-komunitas literasi gitu. Kan akhir-akhir ini aku pengen kembali aktif di komunitas atau kelompok-kelompok positif. Mungkin teman-teman punya rekomendasi, silakam tulis di kolom komentar ya. Siapa tahu cocok sama aku.
Saat mencari di Instagram aku menemukan banyak akun komunitas, salah satunya adalah Komunitas Perempuan Membaca. Kulihat instastory-nya nah di situ adminnya sedang membuka pertanyaan tentang buku yang dibaca di awal tahun. Kebetulan kemarin di akhir tahun 2022 aku lagi keranjingan sama buku berjudul Filosofi Teras karyanya Henry Malampiring atau yang kerap disapa Om Piring. Terus aku jawab deh pertanyaan itu, sekalian curhat sih tentang problem yang sedang aku alami. Huhu….
Awalnya aku sih ya udah jawab aja dan nggak berharap lebih. Nggak tahunya sehari setelahnya aku diberi tahu kalau aku termasuk dari tiga orang yang berhak mendapatkan buku. Di DM (direct message) pun awalnya masih ragu, beneran atau tidak. Setelah menunggu tiga hari finally, sampai juga buku dan mug cantik di bawah ini.
Ini adalah kali pertama aku mendapat kiriman buku dan mug. Seperti adat buku baru pada umumnya aku menyampuli buku dengan sampul bening. Berdasarkan sinopsis di sampul belakang, aku mikir malau buku berjudul Wisanggeni (nama salah satu tokoh dalam cerita) ini tentang kisah dua orang yang kayak bucin ala anak santri gitu. Kalau nggak happy ending ya sad ending.
Dont judge from cover. Ternyata di luar dugaanku. Buku ini lebih dari sekadar kisah cinta. Ada banyak banget pelajaran atau hikmah yang bisa aku ambil. Sedikit kisi-kisi ya Wisanggeni adalah nama salah satu tokoh utama dengan latar belakang pesantren dari Mts hingga MA (setingkat SMA) dan berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja tapi tetap mengunggulkan ajaran agama. Sedangkan Afra digambarkan oleh penulis sebagai ning atau putri kyai besar di salah satu pesantren di Salatiga yang mana dia adalah penerus pondok.
Jadi Afra ini sejak kecil sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh paman atau saudara laki-laki dari almarhumah ibunya. Semuanya sejak kecil yang mengurus kalau ada apa-apa Abah Abbas, pamannya dan Ibu Aisyah selaku bibinya. Termasuk dalam pendidikan semuanya udah ditentuin sejak kecil.
Sedangkan ayahnya Afra, Abah Syuaib dulunya merupakan seorang abdi dalem atau santri kinasih di pesantren Ar Rahman; nama pesantren keluarga Afra. Karena keuletan, kepandaian, daln lain sebagainya terus dia diangkat jadi menantu oleh kakeknya Afra.
Oleh karena itu Abah Syuaib sebagai orang tua satu-satunya Afra (ibunya meninggal setelah melahirkan Arwa, adiknya Afra) kurang bisa leluasa menentukan langkah hidupnya. Beliau mengamini semua perintah keluarga Ar Rahman selama itu tidak bertentangan dengan hukum agama sebagai bentuk ketakdhimannya.
Misal ketika ada dua pilihan antara kuliah di dalam negeri atau luar negeri untuk Afra dari Abah Abbas. Ia meminta untuk kuliah di dalam negeri lebih tepatnya di Solo. Selain kuliah Afra juga diharuskan untuk membekali diri dengan ilmu agama sebagai bekal untuk meneruskan pesantren nanti. Nah, hal inilah yang membuat Wisanggeni merasa tidak sepadan dengan Afra walaupun dia sebenarnya sangat mencintainya. Terus bagaimana kisah mereka berdua? Ya silakan kalian menebak sendiri. Hhee… aku cuma bilang segitu, kan di sini aku ingin membahas nilai-nilai yang aku ambil dari novel Wisanggeni.
Yang pertama bahwa kita di zaman sekarang harus pintar memilah dan memilih mana adat atau kebiasaan yang relevan diterapkan di zaman sekarang dan yang enggak. Contohnya adalah perjodohan. Pasalnya tokoh Afra dalam novel ini telah dijodohkan dengan Gus atau Putra Kyai ternama. Ia adalah Gus Hambali. Lulusan universitas luar negeri dengan segala ketampanan, wibawa, karisma, dan harta yang dimiliki (digambarkan dalam novel ia mengenakan pakaian serta mobil mewah).
Jujurly, waktu baca bagian sinopsis di sampil belakang agak khawatir dengan akhir kisah cinta Wisanggeni yang notabene santri biasa dan Afra putri kiai pesantren. Biasanya kalau wanita seperti itu sulit banget didapatkan oleh lelaki biasa. But, apa yang terjadi? Pertanyaan itulah yang membuatku semakin ingin terus membaca novel Wisanggeni sampai akhir. Karena menyajikan cerita yang sulit ditebak dengan beragam pesan morilnya.
Nilai yang kedua adalah tidak gegabah menilai penampilan orang lain. Seperti tokoh Wisanggeni yang telah kuliah. Dia yang penampilannya biasa aja; memakai kaos dan celana jeans yang dari lauar tidak terlihat religius santri pada dirinya. Meski demikian, dia memiliki sifat yang rendah hati, supel, friendly, care, membumi kepada semua bahkan kepada penjual nasi liwet. Berbeda dari mahasiswa lain yang getol ikut demo, tetapi makan nasi liwet pinggir jalan saja tak mau. Menurutku ini sangat menginspirasi karena dia juga terjun langsung ke masyarakat.
Yang ketiga adalah nilai agama yaitu bagaimana akhlak santri di novel ini. Unggah-ungguh santri ketika berbicara pada wanita tua atau kita terhadap sesama dan menghormati orang yang lebih tinggi derajat atau mokonya
Selain tiga hal di atas aku juga ingin memberikan pandangan sedikit tentang kisah di novel ini jujur saat membaca aku reda ketar-ketir soalnya kan di sini si wanita statusnya lebih tinggi daripada si lelaki bisa Gening biasanya kan kalau wanita itu berasal dari kelas atas sulit untuk bersatu dengan iklan dia menulis seperti misalnya gini nah ini yang buat aku penasaran banget sama buku ini soalnya dari buku-buku aku baca sebelumnya nggak bisa dimainkan tidak bisa dibayangkan deh terus ada kayak pandangan keluarga nya apa dalam novel ini terhadap kesindir Kenapa karena digambarkan bahwa bahasa kasarnya tuh memandang biasa atau enggak sepadan kayak gitu seperti aku nggak jadi deh
Satu hal yang membuat aku mengernyitkan dahi saat membaca novel ini adalah ketika membaca tentang cara pandang beberapa tokoh terhadap Wisanggeni. Seperti diungkapkan Gus Hambali kepada Afra berikut ini:
".... Wisanggeni itu siapa? Dipandang oleh Abah Abbas juga tidak." (Hal: 172).
Selain itu dari segi penggunaan bahasa juga sering ditemui bahasa jawa krama. Kebetulan aku yang orang asli Jawa bisa menangkap maksud penulis, jadi tidak ada masalah. Bisa jadi sebagai sarana mengenalkan kekayaan bahasa jawa, terlebih bahasa yang dipakai dalam lingkungan pesantren. Akan tetapi untuk kata-kata yang mudah dipahami dalam bahasa Indonesia sebenarnya tidak perlu melulu menggunakan bahasa jawa. Biar pembaca (dari luar Jawa) lebih mudah memahami.
Poin selanjutnya yang ingin aku sampaikan terkait pengejaan kata. Di buku ini aku lumayan sering bertemu dengan kata tidak baku. Seperti kata 'di' menunjukkan tempat; yang seharusnya dipisah dan kata 'di' menunjukkan kata kerja yang seharusnya digabung. Serta kata 'silahkan' yang seharusnya ditulis 'silakan' dalam kata baku.
Terlepas dari itu buku ini tak sekadar menjabarkan kisah cinta, more than that. Banyak teladan, nilai, amanat, serta pesan moral yang bisa kita ambil dari masing-masing tokoh. Kira-kira seperti ini:
Wisanggeni: berjiwa sosial tinggi, humble, rendah hati, tetap menjaga marwah santrinya dimanapun berada, punya effort tinggi untuk memperjuangkan cintanya, sopan santun, dan lain sebagainya.
Afra: patuh, menghormati yang lebih tua, selalu mengedepankan adab meski hati berkecamuk, belajar sungguh-sungguh, dan lain sebagainya.
Untuk tokoh-tokoh lainnya seperti Abah Abbas, Gus Hambali, Tyas, Kang Qosim, dan lain-lain silakan temukan sifat dan karakternya dalam buku Wisanggeni. Ibarat kata tak ada gading yang tak retak, jadi para tokoh pun tidak terlepas dari sifat manusiawi lainnya yang masih bisa diterima dalam lingkup dunia pesantren (religius).
Untuk mengakhiri postingan blog perdana di tahun 2023 ini aku akan menyertakan quote atau kutipan menarik dari novel Wisanggeni yang tentunya berasal dari Ning Dian Latifa sebagai penulis. More info, beliau juga trah pesantren. Jadi lebih paham dan lebih tahu tentang seluk beluk pesantren. Berikut senagian dawuhnya:
"Jangan sampai masyarakat tak punya pegangan jika kiai saja sudah enggan berada dekat dan mengasihi mereka yang membutuhkan nasehat spiritual." (Hal: 58).
"Guru agama harus bersanad, jalurnya harus sampai pada Rasulullah. Agar saat kita nanti mengajarkan pada orang lain, tidak menyesatkan yang pada akhirnya berujung dosa yang turun-temurun." ( Hal: 163).
"Di manapun manusia ditempatkan pasti ada maksud tujuannya." (Hal: 199).
Menarik, bukan? Kita membaca sekaligus dapat pelajaran berharga dari orang istimewa seperti Ning Dian Nur Hidayah, nama asli penulis. Terima kasih telah mengajari banyak hal melalui novel Wisanggeni, Ning. Tak lupa juga terima kasih kepada Komunitas Perempuan Membaca yang telah memberiku buku luar biasa. Terima kasih juga buat yang membaca tulisan ini sampai akhir.
Semoga ke depannya aku kembali menemukan semangat menulis, membagikan cerita lewat tulisan. Karena selama ini aku hanya aktif di WhatsApp. Instagram pun aku pakai sewajarnya, tapi Alhamdulillah sekarang mulai aktif. Yang mau berbagi cerita bisa dm di sini atau Ig @lathifah_saadah
Salam hangat, salam literasi
Lathifah S
0 Comments
Jangan melakukan spam, tak ada link dan bicara kotor.
Berkomentarlah dengan cerdas