Covid-19 Sebagai Penguat Persatuan Bangsa

Meningkatnya PDP (Pasien Dalam Pemantauan) covid-19 dan pasien positif covid-19 di Indonesia akhir-akhir ini sering meresahkan masyarakat. Terlebih bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar. Seperti Jakarta, Bogor, Bandung, dan lain sebagainya yang berada di zona merah.

Menanggapi hal itu, pemerintah telah lama menghimbau warganya untuk melakukan pembatasan sosial (sosial distancing). Jaga jarak dengan orang lain, tidak berkerumun, serta memakai masker bagi yang sakit ataupun tidak sakit misalnya. Sayangnya imbauan tersebut belum dipatuhi oleh semua masyarakat yang memiliki seribu alasan untuk mengelak.

Perlu disadari, bahwa peraturan dibuat untuk dijalankan. Bukan sebaliknya, dilanggar. Toh tujuan dari dibuatnya peraturan tersebut untuk menciptakan kemaslahan bersama. Agar penyebaran covid-19 segera selesai tentunya.

Oleh sebab itu, dibutuhkan kesadaran masyarakat. Dimulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga, teman, dan lain-lain. Karena merekalah faktor utama penentu laju cepat atau lambatnya penyebaran covid-19. Dan merekalah objek sasaran covid-19.

Tak hanya di Indonesia. Negara-negara tetangga pun demikian. Bahkan mereka, negara tetangga, lebih dulu menerapkan lockdown atau karantina wilayah ketimbang Indonesia.

Ternyata lagi-lagi warga +62 bertingkah. Sekenaknya bepergian ke luar wilayah, berbaur dengan orang lain. Dan apa yang mereka dapat? Virus covid-19. Sungguh miris. Mengingat betapa lelahnya perjuangan tenaga medis menangani pasien positif covid-19. Betapa rindunya tenaga medis pada keluarga. Kalau hal ini diteruskan bisa-bisa covid-19 makin nyaman tinggal di Indonesia.

Langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah ialah menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Berdasarkan siaran televisi pada hari pertama diberlakukannya aturan PSBB ada banyak warga yang melanggar.

Contoh pelanggaran yang sering terjadi yaitu tidak memakai masker, duduk di samping sopir/pengemudi, berboncengan dengan orang beda kota, dan lain-lain. Meskipun berbagai sanksi ringan telah dilakukan, namun tetap setiap harinya ada warga yang melanggar.

Menelisik Penyebab Banyaknya Warga yang Melanggar

Dari tulisan di atas penulis sering menyebut tingkah masyarakat yang melanggar aturan pemerintah. Sadar tidak sadar semua itu benar adanya. Kasus ini pun sering menjadi bahan pembicaraan di tv maupun media sosial lainnya.

Tak akan ada asap bila tak ada api dan tak ada hujan bila tak ada mendung. Kira-kira begitulah kata pepatah.

Kebanyakan dari mereka yang melanggar aturan beralasan pergi untuk mencari uang. Tak bisa dipungkiri. Masa pandemi yang tak tahu kapan berakhirnya seperti ini kian menggerus nominal penghasilan. PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) diklaim menjadi solusi bagi sebuah instansi. Sehingga semakin bertambah pula jumlah pengangguran di negeri ini.

Selaian itu, masyarakat dengan ekonomi rendah plus  sebagai tulang punggung keluarga harus bekerja ekstra mencari selembar uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebelum covid-19 datang hidup mereka sudah pas-pasan. Apalagi di tengah pandemi. Mau tak mau harus bekerja. Terbilang melawan arus, yaitu pergi ke luar dan terancam tertular virus covid-19.

Tagar #DiRumahAja bagi sebagian orang menjadi momentum untuk beristirahat. Menikmati setiap detik waktu bersama keluarga dan menambah keharmonisan rumah tangga. Tetapi menjadi lara bagi kaum pekerja, terlebih bagi perantau.

Persatuan Awal Kemaslahatan


Sudah saatnya Indonesia bangkit. Bergandengan tangan tanpa membeda-bedakan. Seperti terlihat pada jajaran polisi, TNI dan dokter. Di mana dokter menangani pasien covid-19, sedangakn polisi & TNI -seperti tayangan di TV- mengatur peredaran masyarakat agar tak kemana-mana. Lebih dari itu, seorang anggota polisi juga ada yang sengaja memasak makanan untuk tenaga medis di suatu rumah sakit.

Hubungan harmonis merekalah yang perlu ditiru. Seperti menyisihkan uang untuk membantu mengurangi beban hidup pada orang lain yang membutuhkan. Tidak perlu jauh-jauh ke luar kota jika di kota sendiri masih banyak yang membutuhkan bantuan. Bukankah perubahan itu dimulai dari yang terdekat.

Beberapa komunitas, lembaga, dan keluarga sering mempublish kegiatan amal mereka. Ada juga yang banting stir memulai usaha pembuatan masker kain dan APD (Alat Pelindung Diri) guna memenuhi kebutuhan rumah sakit. Tak mau ketinggalan, beberapa stasiun TV pun silih berganti menginformasikan nomor rekeningnya untuk menampung sumbangan yang akan didonasikan kapada yang membutuhkan.

Dari sana tercermin kekompakan masyarakat untuk mengentaskan masalah bersama ini. Jika mereka sudah, lantas kamu kapan?

Perilaku saling membantu sama lain seyogyanya akan menimbulkan rasa persatuan, rasa persaudaraan, dan rasa saling menyayangi. Itulah kunci kemaslahatan negeri ini.

Adanya pandemi covid-19 menyadarkan seluruh elemen masyarakat pentingnya persatuan. Baik persatuan sesama agama, sesama makhluk ciptaan Tuhan, serta persatuan sesama warga Indonesia. Seakan orang satu dan yang lainnya saling merasakan beban yang ditimbulkan oleh covid-19.

Terlebih di bulan Ramadhan kali ini. Bulan penuh berkah, ampunan, dan rahmat yang ganjaran ibadahnya berlipat ganda. Tetapi semua itu -lagi dan lagi- dianjurkan untuk dilakukan #DiRumahAja.

Kini, masjid-masjid besar seperti Masjid Istiqlal sepi. Adzan berkumandang, namun makmun tak kunjung datang. Jamaah tadarusan di masjid-masjid pun mulai berkurang. Demikian halnya kegiatan ngabuburit (menunggu datangnya adzan maghrib) dan bukber (buka bersama) di restoran, kafe, dan pusat keramaian lainnya mulai ditinggalkan.

'Beribadah, belajar, dan bekerja di rumah aja' itulah kalimat yang sedang trend  sebagai ajakan kepada semua orang untuk melakukan segala aktivitas di dalam rumah. Kalau pun terpaksa pergi keluar disarankan mematuhi panduan dari pemerintah.

Contohnya ketika shalat jamaah di masjid atau mushala terdekat. Shaf-shaf harus renggang; minimal jarak satu meter dan tidak ada jabat tangan sehabis shalat. Padahal sebelum adanya covid-19, tradisi salaman sehabis shalat diklaim mampu menumbuhkan solidaritas antar warga serta terciptanya persatuan.

Dalam gerakan shalat pum diajarkan berdiri sama rata dan sama-sama bersimpuh di hadapan Sang Pencipta. Apapun latar belakang dan tingkat ekonominya.

Walau demikian, adanya covid-19 ini bukan berarti mengikis rasa persatuan yang telah lama ada. Malahan sebaliknya, semakin memperkuat persatuan serta kesatuan bangsa. Sehingga tercipta kehidupan yang aman, makmur, dan sentosa.

Tidak bisa berkumpul seperti sedia kala bersama teman sejawat bukan berarti hilang komunikasi. Di era sekarang ini ada banyak sarana untuk bertatap muka tidak langsung. Ada aplikasi WhatsApp, Facebook, Zoom, dan masih banyak lagi sebagai sarana untuk sekadar melepas rindu. Ketika rasa rindu ada, tentu akan menambah rasa persatuan.

Melalui teknologi juga bantuan sosial bisa disalurkan kepada lembaga yang benar-benar bertanggung jawab. Sehingga bantuan bisa sampai kepada yang membutuhkan.

Tindakan tersebut dapat membantu warga yang -kebetulan- tidak menerima bantuan dari pemerintah yang hingga saat ini dinilai banyak pihak masih belum merata. Kalau diri sendiri bisa membantu, mengapa harus menunggu uluran tangan pemerintah?

Hikmah di balik adanya covid-19 salah satunya adalah memperkuat rasa persatuan dan kesatuan. Dari masyarakat kecil, para artis, hingga pejabat semua bersama, bersatu melawan covid-19. Guna mencapai kemaslahatan bersama di negeri tercinta ini.

Lekas sembuh bumiku. Lekas membaik tanah air Indonesiaku.

Lathifah S
Pati, 13 Mei 2020

Lathifatus Sa'adah, anak asli Pati yang lulus MA tahun ini. Mengaku suka membaca dan menulis saat kelas XI. Serta memiliki ketertarikan terhadap dunia literasi sebagai wadah untuk berkreasi.
Bisa dihubungi melalui akun instagram @lathifah_saadah

Nb:
Essay ini telah diikutsertakan dalam lomba essay santri yang diadakan oleh @pesantrendevelopment Ramadhan lalu.

Post a Comment

0 Comments